Berdiri 6 Tahun, Komisi HAM ASEAN Belum Punya Visi Konkret

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Selasa, 26 Jan 2016 19:55 WIB
Berdiri selama enam tahun, Komisi HAM antarnegara ASEAN belum memiliki visi konkret yang mengikat seluruh anggota.
Ilustrasi (CNN Indonesia/Fajrian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejak Komisi Hak Asasi Manusia Antarnegara ASEAN (AICHR) berdiri pada 2009, belum ada visi konkret yang dapat mengikat seluruh anggota untuk menjunjung tinggi HAM di negaranya.

Perwakilan Pertama Indonesia untuk AICHR, Rafendi Djamin, menjelaskan bahwa upaya Indonesia untuk mendorong penegakan HAM di kawasan selalu  terbentur pada pilar-pilar utama ASEAN.

"Seperti diketahui, dalam Piagam ASEAN diatur bahwa ASEAN memiliki pilar utama, yaitu non-intervensi dan harus ada konsensus dalam setiap pengambilan keputusan sehingga badan HAM hanya memiliki ruang sempit untuk bergerak," ujar Rafendi saat melaporkan hasil kerja selama masa jabatannya dalam seminar di Jakarta, Selasa (26/1).
Berpijak pada landasan tersebut, AICHR tidak dapat mengintervensi jika ada anggota ASEAN yang melakukan pelanggaran HAM. Satu keputusan pun sulit tercapai mengingat untuk ratifikasi satu aturan harus mencapai konsensus terlebih dahulu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"HAM itu isu sensitif bagi setiap negara. Ketika sudah mulai bicara HAM, kami dikira menyinggung. Sampai sekarang saja masih ada dua negara ASEAN yang tidak nyaman dengan AICHR. Elemen perlindungan sangat sedikit," tutur Rafendi.

Informasi mengenai situasi di satu negara pun sangat sulit diakses sehingga tak mudah mendeteksi pelanggaran HAM di beberapa negara anggota ASEAN.

"Kami adakan kunjungan ke sana, saya tidak usah sebut negaranya, semua yang ditunjukkan yang baik-baik. Mereka menutup-nutupi. Ya, setidaknya kami tahu suasana di sana," kata Rafendi.

Meskipun Deklarasi HAM ASEAN sudah diratifikasi pada 2012, kontrol dan pengambilan keputusan masih sulit dilakukan. Pasalnya, ASEAN memiliki pilar konsensus. Dalam banyak kasus HAM, kata Rafendi, konsensus sering kali tak tercapai.

Mencari celah untuk menegakkan HAM di ASEAN, Indonesia akhirnya menyusun enam strategi, yaitu memastikan pelaksanaan mandat AICHR, mendesak keterbatasan dengan memberikan contoh penegakan hukum dalam negeri, memajukan hak-hak derogable, mendorong AICHR terlibat dalam pusat statistik berbagai pihak, mengarusutamakan dialog mengenai HAM, dan mengangkat profil AICHR di kancah internasional.

Dengan menjalankan strategi tersebut, kata Rafendi, AICHR perlahan mulai bisa membangun fondasi penegakan HAM di ASEAN.

"Kuncinya adalah buat negara-negara nyaman terlebih dahulu sehingga mereka lebih luwes untuk berdialog," kata Rafendi.

Kendati demikian, penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara tak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan waktu panjang. Menurut Rafendi, satu periode masa jabatan enam tahun tak cukup untuk membangun integritas AICHR.

Penerus perwakilan AICHR dari Indonesia selanjutnya, Dinna Wisnu, memiliki banyak pekerjaan rumah.
"Program harus lebih punya visi konkret. Ada negara belum nyaman dengan AICHR. Berdasarkan mandat AICHR, buat program beserta tujuan apa yang mau dicapai dengan jelas. Jangan seperti enam tahun belakangan yang enggak jelas," katanya.

Dinna memiliki strategi sendiri untuk menembus tembok kesulitan akibat pilar ASEAN. Pertama, ia akan menekankan pengaruh penegakan HAM terhadap perekonomian satu negara sehingga kemungkinan dapat menarik minat.

"Selain itu, Indonesia juga akan lebih mendorong negara-negara ASEAN untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM internasional lainnya yang memaksa mereka untuk mengimplementasikannya dalam kebijakan negara dan lebih mengikat. Jika pilar ASEAN menghalangi, kita harus cari jalan lain," katanya. (stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER