Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Dalam Negeri Inggris mengaku mendeportasi ribuan anak-anak yang mencari perlindungan di Inggris sebagai pencari suaka ke negara-negara berkonflik yang dikendalikan oleh kelompok militan ISIS dan Taliban.
Dilaporkan
The Independent pada Rabu (10/2), Menteri bagian Imigrasi di Kementerian Dalam Negeri Inggris, James Brokenshire, menerbitkan laporan yang menunjukkan bahwa selama sembilan tahun terakhir sebanyak 2.748 anak-anak dan remaja, yang sebagian besar telah tinggal dan bersekolah di Inggris, dikembalikan ke sejumlah negara berkonflik, termasuk Afghanistan, Irak, Iran, Libya dan Suriah.
Sebagian besar pencari suaka anak, yakni sebanyak 2.018, dikirim ke Afghanistan. Namun, sekitar 60 remaja dideportasi ke Irak sejak 2014, tahun yang sama dengan dimulainya aksi teror ISIS di Irak dan Suriah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penemuan ini dipicu dari berbagai pertanyaan yang diajukan Biro Investigasi Jurnalisme Inggris dan anggota parlemen Louise Haigh dari Partai Buruh. Penemuan ini terjadi di saat Inggris tengah didesak untuk membantu ribuan pengungsi anak yatim piatu dari Suriah.
Pencari suaka anak yang tidak ditemani orang tua maupun keluarganya yang tiba di Inggris diberikan izin sementara untuk tinggal di Inggris. Namun, masa berlaku izin ini akan berakhir ketika mereka mencapai usia dewasa. Sebagian besar bahkan telah mengikuti ujian GCSE dan A-levels, telah melebur bersama masyarakat Inggris dan hilang kontak dengan kerabat di tanah air mereka.
"Angka yang mengejutkan ini mengungkapkan realitas yang memalukan di balik sistem suaka kami," ujar Haigh. "Anak-anak yang melarikan diri dari negara yang dilanda perang diberikan tempat aman dan berkesempatan membangun kehidupan di Inggris, tetapi pada usia 18 tahun, mereka dipaksa untuk kembali terbang ke negara mereka yang berbahaya. Mereka tak lagi memiliki kontak dan tak lagi ingat [dengan negara asal mereka]."
"Dengan banyaknya anak-anak yang lebih rentan tiba di Inggris selama lima tahun ke depan, pemerintah perlu menjawab pertanyaan serius dan memberikan jaminan kuat bahwa para remaja yang rentan ini tidak akan dikirim kembali ke zona perang," tutur Haigh menambahkan.
Haigh berencana mengetengahkan masalah ini dalam debat parlemen, sementara pemimpin Liberal Demokrat, Tim Farron, akan memimpin pertemuan darurat lintas partai pada Rabu untuk mencari cara bagaimana Inggris dapat menampung pengungsi anak di masa mendatang.
"Menyedihkan bahwa pemerintah merampas perlindungan keselamatan yang telah kami tawarkan kepada anak-anak ini di hari ulang tahun yang ke-18," ujar Farron.
Saat ia mempublikasikan laporan ini, Brokenshire terpaksa meminta maaf karena sebelumnya memberikan jumlah pencari suaka anak yang tidak akurat pada November lalu kepada Majelis Rendah, yakni sebesar 1.040 anak ke Afghanistan, Irak, Iran, Suriah dan Libya sejak 2007. Brokenshire menyebut hal ini disebabkan terjadi "kesalahan selama proses ekstraksi."
Biro Investigasi Jurnalisme Inggris memantau sejumlah kasus beberapa remaja Afghanistan yang tahun lalu berjuang melawan deportasi. Beberapa di antara mereka yang dikembalikan ke negara asal mengaku telah kehilangan tempat tinggal, serta dikejar-kejar, diculik, disandera, dan dipukuli oleh Taliban.
Laporan terbaru yang dipublikasikan Kementerian Dalam Negeri Inggris menunjukkan bahwa pada 2015, sebanyak 57 mantan pengungsi anak dikirim kembali ke Afghanistan. Saat ini proses deporatasi ke negara itu untuk sementara diberhentikan karena tim pengacara berpendapat situasi keamanan di sana sangat tidak aman sehingga seharusnya tidak ada pencari suaka yang dideportasi.
Meski demikian, pada awal bulan ini tim pengacara untuk Kementerian Dalam Negeri Inggris berpendapat dalam pengadilan banding bahwa deportasi harus terus dilakukan. Pengadilan ini akan mencapai keputusan dalam waktu dekat.
Laporan terbaru juga menunjukkan bahwa 657 mantan pengungsi anak telah kembali ke Irak sejak 2007, termasuk 22 mantan pengungsi anak yang dideportasi pada tahun lalu dan 38 mantan pengungsi anak yang dikirim kembali ke negara asal pada 2014, ketika ISIS mulai merebut sejumlah wilayah di negara itu.
"Semua aplikasi untuk tetap tinggal di Inggris dipertimbangkan berdasarkan masing-masing pencari suaka, termasuk usia pemohon, waktu yang sudah mereka habiskan di Inggris, dan kemampuan mereka untuk melebur kembali [dalam masyarakat] dengan damai," ujar juru bicara Kementerian Dalam Negeri Inggris.
Imigran anak dapat mengajukan permohonan suaka ketika pertama kali tiba di Inggris. Meski demikian, peluang untuk mendapatkan status pengungsi pada saat ini sangat rendah, khususnya untuk anak-anak dari Afghanistan atau Irak.
Pemerintah Inggris umumnya tidak mendeportasi pengungsi anak tanpa pendamping, namun memberikan mereka izin tinggal hingga berusia dewasa. Pada saat itulah, sang pengungsi remaja harus mengajukan permohonan untuk memperpanjang izin mereka.
Meski demikian, Biro Investigasi Jurnalisme Inggris menemukan bahwa hanya satu dari lima pengungsi diberikan suaka pada saat ini.
(stu)