Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat menilai kegagalan operasi militer tentara Filipina menghabisi kelompok bersenjata Abu Sayyaf tidak berkaitan dengan 10 WNI yang disandera kelompok radikal itu.
"Operasi yang gagal itu menambah panjang daftar yang dijalankan pemerintah Filipina di Selatan," kata Ketua Komisi Pertahanan Mahfudz Siddiq di Gedung DPR RI, Senin (11/4).
Sebanyak 18 tentara Filipina tewas dalam aksi baku tembak antara militer dan kelompok Abu Sayyaf di Tipo-tipo, Basilan, Filipina, Sabtu (9/4). Sementara untuk 10 WNI yang disandera, Abu Sayyaf meminta tebusan Rp15 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu Mahfudz menilai, kegagalan tersebut seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah menempuh jalur negosiasi untuk membebaskan 10 WNI yang disandera.
"Walaupun ini tidak mengenakkan, tapi dalam prioritas terkait keselamatan mereka memang mau tidak mau mengambil jalur negosiasi," tuturnya menyarankan.
Perusahaan asal awak kapal, PT Patria Maritime Lines sudah melakukan komunikasi dengan Abu Sayyaf. Namun DPR mendorong pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri mengintensifkan komunikasi.
"Kalau ada kesepakatan antara pihak penyandera dengan perusahaan, saya pikir menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan pendampingan, memfasilitasi dalam pembebasan sepuluh WNI itu."
Menurutnya, pemerintah harus mencontoh kasus dibebaskannya seorang WN Italia melalui opsi tebusan. Belajar dari situ, Mahfudz menegaskan pemerintah Indonesia tak bisa lagi mengupayakan pembebasan 10 WNI melalui operasi militer.
Salah satu alasannya, "Ini tidak memungkinkan dan tidak bisa dijamin keberhasilannya, termasuk tidak bisa dijamin keselamatan sanderanya."
Sementara itu, Anggota Komisi Pertahanan DPR Tantowi Yahya mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan negoisasi terhadap kelompok Abu Sayyaf.
Menurutnya, kelompok radikal itu memiliki banyak faksi dan sejumlah agenda yang tak bisa diprediksi oleh pemerintah Indonesia.
"Kalau salah, hasilnya akan salah dan bahkan akan membahayakan jiwa," katanya.
Anggota Komisi Pertahanan Ida Fauziah pun meminta pemerintah mengedepankan jalur diplomasi untuk membebaskan 10 WNI yang disandera. Sebab menurutnya, jika pemerintah menuruti keinginan Abu Sayyaf yang meminta tebusan, bisa saja hal tersebut akan terulang lagi ke depannya.
"Dilematis memang. Tapi kami yakin pemerintah dapat memikirkan langkah terbaik," ucapnya.
Kesepuluh WNI itu sudah mencapai pekan ke-dua di bawah sandera Abu Sayyaf. Hingga kini belum ada informasi lanjut.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyatakan hingga kini Kemlu tidak menerima informasi bahwa sandera WNI berada di lokasi penyerbuan.
"Kami tidak pernah memperoleh informasi bahwa 10 WNI ada di daerah Basilan," ujar Iqbal melalui pesan kepada CNNIndonesia.com pada Minggu (10/4).
Dubes RI untuk Filipina Johny Lumintang menyatakan, belum ada informasi resmi yang signifikan dari pemerintah Filipina soal nasib 10 WNI yang disandera. Ia masih memantau soal kondisi mereka.
(rsa)