Jakarta, CNN Indonesia -- Setahun setelah krisis pengungsi terburuk terjadi di kawasan Asia Tenggara, berbagai upaya penanganan nampaknya telah dilakukan. Namun, para pakar menilai, akar masalah pengungsi masih belum terselesaikan secara tuntas.
Krisis pengungsi terjadi pada Mei 2015, ketika ribuan korban perdagangan manusia terdampar di sejumlah negara di Asia Tenggara. Para "manusia kapal" yang melarikan diri dari konflik di negara asal ini harus berdesak-desakan menumpangi kapal reyot selama berminggu-minggu tanpa persediaan makanan dan air minum yang memadai.
Pada mulanya, berbagai negara di Asia Tenggara menolak mengambil sikap terhadap para pengungsi yang sebagian besar merupakan warga Rohingya, kaum minoritas yang tidak diakui di Myanmar. Namun, tiga negara Thailand, Malaysia dan Indonesia akhirnya memustukan menampung para imigran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setahun berlalu, dan saat ini jauh lebih sedikit kapal perdagangan manusia terlihat di laut saat "musim berlayar" atau waktu di antara musim hujan yang dinilai sebagai waktu paling aman untuk melakukan perjalanan. Meski demikian, para pengamat memperingatkan bahwa akar masalah krisis belum terselesaikan, sementara ribuan pengungsi kini masih terjebak di kamp pengungsi dan pusat penahanan yang tersebar di Asia tenggara.
"Kita berbicara soal krisis [manusia] perahu setahun lalu, tapi bagi banyak korban krisis yang selamat, krisis ini masih terus berlanjut," kata Amy Smith, direktur eksekutif lembaga kemanusiaan nirlaba Fortify Rights yang berbasis di Bangkok, kepada
CNN.
Setiap tahun, ribuan Muslim Rohingya meninggalkan Myanmar, lantaran penindasan dan diskriminasi yang, menurut Yale Law School Human Rights Clinic, dapat dianggap sebagai tindakan genosida.
Hingga kini, pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingya, dan menganggap mereka sebagai imigran "Bengal," meskipun warga Rohingya telah hidup turun temurun di negara bagian Rakhine sejak berabad-abad lalu.
Lebih dari 140 ribu warga Rohingya saat ini tinggal di kamp pengungsi yang penuh sesak, dengan sedikit akses ke makanan atau kesehatan. Sementara ribuan lainnya tinggal di sejumlah desa terpisah, di mana mereka menghadapi kemiskinan dan penganiayaan.
"Warga Rohingya yang meninggalkan negara bagian Rakhine tidak melarikan diri karena alasan ekonomi. Mereka adalah pengungsi yang dipaksa keluar dari negara bagian itu, di mana mereka tidak memiliki kebebasan bergerak dan ditempatkan di kamp tepat di tepi laut," kata Smith.
Situasi ini membuat warga Rohingya sangat rentan terhadap perdagangan manusia, yang menyelundupkan mereka melalui jalur laut melewati Thailand menuju Malaysia. Menurut catatan Fortify Rights, situasi ini sudah terjadi sejak 2012, dan sudah lebih dari 170 ribu orang meninggalkan Myanmar.
Nasib para pengungsi di kamp penampungan di tiga negara Asia Tenggara itu diperkirakan tetap suram. para manusa perahu ditempatkan di kamp pengungsian, dan menurut Smith, ""tidak memiliki kebebasan bergerak dan kemampuan mereka untuk memiliki masa depan jangka panjang sangat terbatas."
"Menurut hukum Malaysia mereka semua diperlakukan sebagai imigran ilegal, tanpa hak untuk bekerja, tidak ada akses ke sistem kesehatan," kata Richard Towle, petugas UNHCR di Malaysia, yang tengah berupaya menekan pemerintah Negeri Jiran itu agar para pengungsi diberikan hak untuk bekerja dan diberikan jalan untuk memiliki tempat tinggal.
Warga Rohingya banyak berharap kepada peraih Nobel kemanusian Aung San Suu Kyi yang partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, memenangi pemilu demokratis pertama di Myanmar. Namun hingga kini, belum ada tindakan berarti yang dilakukan Suu Kyi untuk mengatasi diskriminasi warga Rohingya yang menjadi penyebab utama krisis pengungsi.
"Situasi ini tidak membaik dan semakin memburuk. Jika pemerintah ingin menghentikan penderitaan ini, dan memberikan kembali kami kebebasan, semuanya akan mudah, tetapi ini merupakan konflik agama sehingga mereka tidak dapat melakukannya," kata Mohammed Ali, seorang pemimpin masyarakat di kamp Thet Kay Pyin di Rhakine, kepada CNN Maret lalu.
Pekan lalu, juru bicara Suu Kyi, Zaw Htay, mengatakan kepada wartawan bahwa "sangat penting bagi masyarakat internasional untuk menyadari situasi yang sensitif dari negara bagian Rakhine, dan menghindari melakukan sesuatu yang akan membuat keadaan menjadi lebih buruk dan lebih sulit bagi pemerintah yang baru."
Juru bicara untuk kantor Presiden hingga kini belum meluncurkan komentar terkait masalah ini.
Tanpa terciptanya solusi bagi akar masalah, Smith memperingatkan krisis bisa terjadi lagi setelah musim hujan usai.
"Ini hanya masalah waktu," katanya, sembari menambahkan bahwa para pemerintah di kawasan Asia Tenggara belum melakukan lebih banyak untuk mengantisipasi krisis ini terjadi kembali.
(ama)