BNP2TKI: ABK Bukan Aset Negara

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Senin, 01 Agu 2016 21:12 WIB
Direktur Persiapan dan Pembekalan Pemberangkatan BNP2TKI menegaskan anak buah kapal bukan merupakan aset negara dan oleh karena itu, harus dilindungi.
Ilustrasi anak buah kapal (ANTARA FOTO/Humas Kementerian Kelautan Perikanan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Persiapan dan Pembekalan Pemberangkatan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Teguh Hendro Cahyono, menegaskan bahwa anak buah kapal bukan merupakan aset negara. Oleh karena itu, ABK WNI harus dilindungi.

“Logika berpikir negara kita itu berbeda dengan negara lain di Asia Tenggara, saya tidak usah sebut negaranya. Di sana, ABK itu dianggap sebagai aset yang dijual, jadi bisa jadi perdagangan manusia. Indonesia, tidak menganggap ABK sebagai aset,” ujar Teguh dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri di Bandung, Senin (1/8).

Teguh kemudian menjabarkan bahwa para ABK yang melaut hingga keluar negeri sebenarnya memenuhi haknya seperti tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 dengan bunyi, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Teguh, para ABK ini pada dasarnya hanya ingin memenuhi haknya untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pasalnya, kebanyakan dari mereka merasa di tanah airnya sendiri sudah tidak ada pekerjaan yang dapat memberikan penghidupan layak.

Dengan mimpi memperbaiki nasib, mereka pun rela terombang-ambing di lautan selama berhari-hari, demi memberikan keluarganya sesuap nasi.

“Karena para ABK ini sebenarnya hanya ingin mencari haknya, maka pemerintah bertanggung jawab mengakomodasikan dan memenuhi hak warga. Oleh karena itu, negara harus melindungi juga para ABK kapal ikan ini,” ucap Teguh.

Kendati demikian, upaya perlindungan terhadap para ABK kapal ikan yang bekerja di luar negeri kerap kali terhalang karena sengkarut peraturan di berbagai tingkat.

Menurut Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal, ada tiga akar masalah dari perlindungan ABK ini, yaitu regulasi nasional, regulasi internasional, dan penegakan hukum.

Dari ranah regulasi nasional, akarnya tertancap pada masalah revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang hingga kini belum juga rampung.

Iqbal menuturkan bahwa salah satu masalah paling besar dari UU ini adalah tidak adanya penetapan kewenangan jelas untuk mengurus semua masalah yang berkaitan dengan ABK.

Menurutnya, terdapat banyak tumpang tindih kewenangan dan regulasi antar instansi yang kerap kali berujung pada terbengkalainya satu kasus.

“Misalnya, BNP2TKI menetapkan bahwa rekrutmen harus melalui mereka, ada syarat untuk memiliki KTKLN [Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri]. Lalu, ada juga peraturan dari Kementerian Perhubungan yang mengatur tentang itu. Mereka akhirnya rebutan, tapi ketika ada masalah, kabur. Belum lagi sekarang ada Kementerian Kelautan Perikanan,” tutur Iqbal.

Ketidakjelasan pembagian kewenangan ini juga merembet pada penegakan hukum ketika ada masalah perekrutan ilegal, misalnya. Teguh mengatakan bahwa sebenarnya aparat setempat sudah mengetahui praktik-praktik ini, tapi tidak ada yang bertindak. Pasalnya, tidak ada pengaturan yang jelas mengenai kewenangan penindakan kasus ini.

“Kepolisian tidak diberikan instruksi jelas, apakah ini kewenangan mereka, BNP2TKI, atau Kementerian Tenaga Kerja, misalnya. Kebingunan ini yang harus segera diselesaikan agar semua bisa dicegah sejak awal,” kata Teguh.

Belum selesai masalah ini, regulasi internasional juga masih menjadi isu penting yang kerap kali membuat upaya perlindungan ABK di luar negeri terhambat. “ Ada IMO [International Maritime Organization], ILO [International Labour Organization], bahkan sekarang ada MLC [Maritime Labour Convention]. Semuanya memiliki dasar berbeda, sehingga membingungkan,” tutur Iqbal.

Pada akhirnya, semua masalah itu bermuara pada sulitnya penegakan hukum. Aturan mana yang menjadi acuan menjadi bias dan kabur sehingga pada akhirnya ABK lah korban utamanya.

Merujuk pada data Kementerian Luar Negeri, terdapat 200 ribu masalah ABK di luar negeri. Penyiksaan, gaji tak dibayar, bahkan hingga hilang nyawa di atas kapal seakan sudah menjadi hal biasa jika berbicara tentang ABK, terutama yang bekerja di luar negeri.

“Masalah ini memang rumit. Harus ada komunikasi dari berbagai instansi dan kementerian terkait. Semua harus duduk bersama untuk menyelesaikan masalah regulasi ini. Jangan lagi ada ego sektoral. Perlindungan ABK menjadi hal utama,” kata Iqbal. (ama)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER