Jakarta, CNN Indonesia -- Australia menuduh para pencari suaka yang ditahan di pusat penahanan di Nauru berbohong soal berbagai pelecehan seksual yang mereka alami. Menurut pemerintah Australia, pengungsi memberikan laporan palsu agar dapat segera dikirim ke Australia.
Tudingan ini diluncurkan pemerintah Australia pada Kamis (11/8), hanya sehari setelah t
he Guardian mempublikasikan lebih dari 2.000 dokumen yang menggambarkan berbagai trauma berat dan pelecehan terhadap anak-anak pengungsi di pusat penahanan di Nauru yang dibangun oleh pemerintah Australia untuk mencegah pengungsi mencapai Negeri Kangguru itu.
Menteri Imigrasi Australia Peter Dutton menuding para pencari suaka berbohong soal pelecehan seksual yang mereka alami di negara pulau di kawasan Samudera Pasifik itu. Dutton menyatakan bahwa, "Sebagian besar insiden tersebut sudah pernah dilaporkan sebelumnya."
Dutton mengulangi pernyataan yang pernah dikemukakan pada awal tahun ini, bahwa para advokat pengungsi mendorong para pengungsi untuk melukai diri mereka sendiri dan bahkan melakukan aksi bakar diri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya tidak akan mentolerir pelecehan seksual, apa pun bentuknya. Namun, saya menyadari terdapat beberapa laporan palsu soal kekerasan seksual, karena pada akhirnya, mereka membayar uang kepada para penyelundup manusia untuk datang ke negara kami," kata Dutton dalam wawancara dengan radio Australia, dikutip dari t
he Guardian.
"Beberapa orang bahkan rela melukai diri mereka sendiri dan beberapa orang dikorbankan untuk dapat memasuki Australia. Tentu saja beberapa [pengungsi] membuat keterangan palsu," ujarnya.
Pernyataan Dutton sontak memicu reaksi keras, salah satunya dari senator Partai Hijau Sarah Hanson yang menilai komentar Dutton itu "menjijikkan."
"Komentar Menteri Dutton pagi ini terkasit insiden yang melibatkan pelecehan seksual anak adalah laporan palsu sangat menjijikkan. [Komentar itu] menyerang anak yang memberitahu orang dewasa, yang seharusnya dapat mereka percaya, bahwa mereka mengalami pelecehan," ujarnya.
"Tidak dapat diterima jika pemerintah Turnbull terus mengirimkan pengungsi ke penjara pulau itu, di mana kita tahu anak-anak mengalami pelecehan dan kekerasan," ujarnya.
Dutton merupakan pejabat Australia pertama yang memberikan komentar soal laporan penyiksaan pengungsi dan anak-anak di Nauru. Di bawah kebijakan imigrasi ketat Australia, para pencari suaka yang berusaha mencapai Australia dengan perahu dapat dicegat dan dikirim ke sejumlah kamp penahanan pengungsi di Nauru dan Pulau Manus, Papua Nugini, yang didanai Australia.
Hingga kini, terdapat sekitar 500 pengungsi di pusat detensi di Nauru, menurut data perhitungan terakhir pada Juni 2016, dengan rincian 338 pria, 55 wanita dan 49 anak-anak. Sementara di Manus, terdapat 854 pengungsi, seluruhnya pria.
Bocoran dokumen sepanjang lebih dari 8.000 halaman yang dipublikasikan
the Guardian pada Rabu (10/8) menggambarkan berbagai serangan, pelecehan seksual baik kepada wanita maupun anak-anak, upaya menyakiti diri sendiri, dan sulitnya kondisi hidup yang dialami oleh para pencari suaka setiap hari dari Mei 2013 hingga Oktober 2015.
Pada September 2014, seorang guru melaporkan bahwa seorang asisten wanitanya menangis dan bercerita bahwa ketika ia meminta memperpanjang waktu mandinya, dari dua menit menjadi empat menit, seorang petugas meminta imbalan seksual, yakni menontonnya sedang mandi.
Dalam dokumen itu terdapat tujuh laporan kekerasan seksual anak-anak, 59 laporan serangan terhadap anak-anak, 30 pengungsi anak yang menyakiti diri mereka sendiri dan 159 anak yang mengancam akan menyakiti diri mereka sendiri.
Laporan ini juga mengungkapkan dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh para penjaga dari Wilson Security, perusahaan penyedia layanan kemanan dari Australia. Dalam satu laporan, seorang penasihat keamanan untuk Wilson Security diduga menyatakan kepada seorang pencari suaka yang mengalami pemerkosaan bahwa "pemerkosaan di Australia sangat umum dan pelakunya tidak dihukum."
Meski laporan ini menuai kritik keras dari dalam dan luar negeri, Australia hingga kini tidak merubah kebijakannya yang ketat terhadap pengungsi. Pemerintah Australia sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan semacam diperlukan untuk menghentikan arus pencari suaka. Pasalnya, sebelum kebijakan ini diberlakukan, ratusan pengungsi tewas di laut dalam upaya mencapai Australia.
Para advokat pengungsi menyatakan bahwa dokumen yang bocor menunjukkan kebutuhan mendesak untuk segera mengakhiri kebijakan Australia untuk mengirim pengungsi ke pusat penahanan lepas pantai. Mereka juga menyerukan agar para pencari suaka diberikan dukungan medis dan psikologis.
(ama/stu)