Jakarta, CNN Indonesia -- Australia sengaja menyiksa pengungsi di kamp lepas pantai untuk mencegah lebih banyak lagi yang datang mencari suaka di negara itu dengan perahu.
Hal ini disampaikan oleh organisasi HAM Human Right Watch (HRW) dan Amnesty International dalam laporan terbaru.
Diberitakan
CNN, Rabu (3/8), laporan HRW menyebutkan kekerasan, upaya bunuh diri dan anak-anak sakit yang tidak mendapat bantuan medis adalah gambaran keseharian di kamp detensi imigran Nauru milik Australia.
Penasihat senior HRW untuk Divisi Hak Anak, Michael Bochenek, adalah satu dari dua peneliti yang menyambangi kamp Nauru tanpa visa legal Juli lalu. Mereka mendatangi tempat itu tanpa memberitahu institusi tempat mereka bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam pengalaman saya, tidak ada negara maju yang saya kira bisa melakukan hal ini kepada orang-orang yang lari dari penghakiman, yang mencari kebebasan, yang tertuduh," ujar Bochenek.
Dalam wawancara, para pengungsi di kamp detensi terdengar marah, takut, dan putus asa.
"Orang-orang di sini tidak punya kehidupan, kami hanya coba bertahan hidup. Jiwa kami telah mati di tubuh yang hidup. Kami hanya kulit. Kami tidak punya harapan atau motivasi," kata seorang imigran.
Para imigran mengaku kerap mendapat kekerasan dan tidak mendapat perawatan medis. Mereka juga menjadi korban kriminal warga sekitar, seperti dirampok atau diserang.
Dari 20 orang yang diwawancara, terungkap keinginan bunuh diri menghinggapi banyak orang di kamp itu, termasuk seorang anak berusia 10 tahun. "Apa yang ada di pikiran anak 10 tahun yang ingin bunuh diri?" kata Bochenek.
Seorang wanita imigran yang mengalami penyakit kronik yang menyebabkan benjolan di dada, tenggorokan dan rahim sempat dirawat di rumah sakit Australia, namun ditarik kembali ke Nauru sebelum penyakitnya diobati tuntas.
"Saat saya ada di Australia, dokter mengatakan saya dada saya perlu dibedah, tapi mereka mengirim saya kembali. Penyakit saya semakin parah," kata dia.
Anak-anak di Nauru mengalami penyakit mental parah. Mereka kerap mengompol, sulit berkomunikasi dan menjadi sasaran penindasan di sekolah. Kebanyakan mereka akhirnya pilih berhenti sekolah.
Menurut HRW, pemerintah Australia tahu betul soal perlakuan terhadap para imigran di Nauru ini. Tindakan ini malah digunakan untuk memberikan efek jera agar tidak ada lagi pencari suaka yang datang.
Namun pemerintah Australia membantah "kebanyakan" dari tuduhan tersebut.
"Kami mendesak Amnesty International menghubungi Departemen Imigrasi sebelum melayangkan tuduhan seperti ini. Departemen menolak keras kebanyakan tuduhan dalam laporan itu," kata juru bicara Departemen Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan.
Sejak tahun 2012, pengungsi yang tiba di Australia dengan perahu ditampung di pusat penanganan pencari suaka di Nauru dan pulau Manus, Papua Nugini.
Antara 2007 dan 2013, sedikitnya 1.200 orang tewas tenggelam dalam upaya mencapai Australia.
(stu)