Jakarta, CNN Indonesia -- Pengadilan Myanmar mendakwa seorang pria karena menghina petinggi militer dan mantan presiden di media sosial.
Polisi dan jaksa militer telah mengajukan gugatan terhadap Hla Phone, 38, setelah mem-
posting gambar diedit pada akun Facebook-nya. Isinya menunjukkan kepala militer, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengenakan rok perempuan tradisional di kepalanya.
Gambar lain menunjukkan karikatur mantan presiden dan purnawirawan jenderal Thein Sein dengan kata-kata "kami adalah pembunuh", dan gambar ketiga menunjukkan bendera nasional di sepatu.
Selama lebih dari 50 tahun sejak 1962, militer berkuasa penuh dalam dunia politik Myanmar hingga mulai menarik diri pada 2011. Pada 2015, pemilu akhirnya dimenangkan oleh partai yang dipimpin oleh ikon demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, militer mempertahankan peran utama dalam politik dengan jatah 25 persen kursi di parlemen dan tiga posisi di kementerian penting, termasuk dalam negeri yang mengawasi kebijakan.
Hla Phone, yang telah dipenjara sejak ditangkap pada Februari, membantah melakukan kesalahan, mengatakan ia tidak mem-
posting gambar-gambar itu dan polisi telah salah tangkap.
“Ini adalah salah tangkap dan saya telah menghabiskan enam bulan dan 12 hari di penjara Insein," katanya kepada wartawan di luar pengadilan di kota Yangon pada Senin (22/8).
Dia mengatakan dia bukan pemilik akun Facebook yang dimaksud oleh militer.
Ditanyakan oleh hakim apakah dia bersalah, Hla Phone menjawab, ”Saya tidak bersalah tetapi mereka yang mengajukan gugatan terhadap saya yang salah.”
Jika terbukti bersalah atas semua dakwaan, Phone terancam 11 tahun penjara. Persidangan dimulai pada Rabu mendatang.
Undang-undang telekomunikasi Myanmar yang berlaku sejak 2013 banyak dinilai kontroversial. Salah satu klausulnya melarang penggunaan jaringan telekomunikasi untuk "memeras, mengancam, menghalangi, mencemarkan nama baik, mengganggu, mempengaruhi atau mengintimidasi dengan tidak wajar.”
Pengacara HAM dan aktivis, termasuk kelompok Human Rights Watch, telah meminta pemerintah baru Myanmar untuk mengamandemen atau mencabut hukum tersebut karena dianggap menghambat kebebasan berbicara.
(stu)