Jakarta, CNN Indonesia -- Melihat begitu rumitnya sengketa maritim di Laut China Selatan, Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Maritim, Havas Oegroseno, menganggap masalah itu tidak akan selesai.
"Pendapat pribadi saya, masalah LCS itu tidak bisa diselesaikan, hanya bisa di-
manage," ujar Havas saat ditemui di sela acara Simposium Internasional Asia di Jakarta, Senin (22/8).
Havas lantas menjelaskan bahwa sengketa di LCS sudah terlalu rumit karena melibatkan banyak pihak dengan objek yang tak sedikit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena biasanya rebutan pulau itu biasanya hanya dua negara dan yang diperebutkan hanya dua atau tiga pulau. Di LCS, ada enam negara dan yang diperebutkan ratusan pulau, dan batu, dan karang," tutur Havas.
Kemelut ini bermula ketika China mengklaim sekitar 90 persen Laut China Selatan, salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia yang diyakini kaya minyak.
Klaim China di jalur perdagangan yang mencapai US$5 triliun per tahun ini tumpang-tindih dengan Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Vietnam.
Sebelumnya, Filipina telah mengajukan gugatan terhadap klaim China tersebut ke Pengadilan Tetap Arbitrase. Meskipun hasilnya dimenangkan oleh Filipina, China tetap menolak keputusan tersebut, bahkan tak mengakui keberadaan pengadilan itu.
Havas sendiri beranggapan keterlibatan pihak ketiga sangat penting dalam penyelesaian sengketa wilayah.
Ia lantas menarik contoh saat Malaysia dan Indonesia menyelesaikan sengketa atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Berkonflik sejak 1967, akhirnya kedua negara memutuskan untuk membawa masalah itu ke pihak ketiga, yaitu Mahkamah Internasional, pada 1998.
Ketika hasil diumumkan pada Desember 2002, Indonesia dinyatakan kalah. Namun, masalah tidak berhenti sampai di situ. Masih ada sengketa perairan yang harus diselesaikan.
"Indonesia dan Malaysia saja sudah ada keputusan siapa yang punya pulau, masih bahas airnya. Nah, LCS ini pulaunya saja belum selesai," ucap Havas.
Namun, sementara sengketa belum rampung, semua pihak berkepentingan harus membahas cara untuk meredam konflik agar kestabilan di kawasan dapat tetap terjaga.
Oleh karena itu, Havas mendorong agar pembahasan Code of Conduct antara negara-negara ASEAN dan China segera dirampungkan.
"Jadi yang harus dilakukan DoC dan CoC itu mengelola konflik. Harus segera selesai karena konfliknya itu jika tidak ditangani dengan baik bisa terjadi eskalasi," katanya.
Secara umum, Havas menekankan bahwa pertemuan-pertemuan antar-negara kawasan memegang peran penting untuk membahas solusi-solusi yang mungkin dapat dibawa ke tingkat lebih tinggi.
Selain itu, penghormatan terhadap hukum internasional juga harus dijunjung, terutama di wilayah Asia. Pasalnya, karakteristik Asia sangat berbeda dengan kawasan lain, seperti Eropa.
"Kalau dilihat, Jerman dan Perancis, misalnya. Mereka luasnya hampir sama, demografi sama, politik dan ekonomi juga. Di Asia, ada negara kecil, seperti Brunei, tapi ada negara besar seperti Indonesia. Ada yang lemah dan kuat. Kekuatan negara lemah hanya hukum jadi harus ditegakkan," ujar Havas.
Tak hanya itu, diperlukan pula pembentukan
rule of engagement agar perjanjian tidak hanya pada tingkat politik, tapi juga di tingkat operasional di lapangan.
"Pertemuan-pertemuan harus bisa hasilkan gagasan yang dapat diimplementasikan di tingkat lapangan sehingga tidak sekadar jargon politik, tapi bisa membawa kesejahteraan," katanya.
(ama)