Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat Ruben Carranza menilai kebijakan Presiden Rodrigo Duterte dalam perang melawan narkoba di Filipina tak ubahnya seperti perang terhadap warga miskin. Pasalnya, sebagian besar terduga pengedar atau pemakai narkoba yang tewas dalam pembunuhan di luar hukum adalah warga Filipina yang hidup dalam kemiskinan.
Belum dua bulan Duterte menjabat, hampir 2.000 orang terduga pengedar dan pengguna narkoba tewas dalam pembunuhan liar, pratik yang diperbolehkan Duterte dalam upayanya memberantas pengedaran narkoba. Metode ini dikecam banyak pihak karena dianggap melanggar hak asasi manusia.
Carranza, pengamat senior International Center for Transitional Justice (ICTJ) yang berbasis di New York, menilai dengan menyebut kebijakan Duterte ini sebagai "perang melawan narkoba", berarti mengasumsikan bahwa Filipina memiliki "musuh", yang dalam hal ini praktis adalah mereka yang tewas dibunuh polisi atau pembunuh tak dikenal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Carranza menyoroti bahwa sebagian besar "musuh" tersebut tak lain adalah rakyat miskin Filipina. "Mereka adalah rakyat miskin, yang hidup di tempat pembuangan sampah, perumahan kumuh, siswa yang belajar sembari bekerja, penumpang kendaraan umum, kaum pekerja Filipina, dan bahkan, dalam kasus terbaru, hanya seorang bocah perempuan berusia lima tahun," ujar Carranza kepada
CNN Indonesia.com lewat surat elektronik, Kamis (25/8).
Ia merujuk pada seorang bocah perempuan yang tewas ketika tengah menyantap makan siang bersama keluarga di rumahnya akibat ulah penembak misterius. Insiden ini terjadi hanya tiga hari setelah kakek sang bocah menyerahkan diri ke polisi karena termasuk dalam daftar warga yang dicurigai terkait narkoba.
"Apakah mereka benar-benar pemakai atau pengedar narkoba? Kita tak tahu, karena mereka tak pernah secara resmi didakwa atau ditangkap. Atau bahkan jika mereka ditangkap, banyak yang tidak pernah diadili karena terlanjur tewas akibat dianggap melawan aparat dalam tahanan," tutur Carranza.
Carranza membandingkan nasib para warga miskin yang tewas dengan sejumlah pejabat yang disebut oleh Duterte terlibat dalam bisnis perdagangan narkoba berskala besar. "Mereka adalah para pebisnis, wali kota, dan pejabat polisi. Mereka hingga kini masih hidup meski tengah diselidiki," ujar pengamat Filipina yang berbasis di Amerika Serikat ini.
"Mereka tampil di depan wartawan dan diberi kesempatan untuk membersihkan nama mereka, atau setidaknya menyewa pengacara," kata Carranza.
Respon yang tepat?Carranza juga mempertanyakan seberapa besar praktik penyalahgunaan narkoba di Filipina hingga "perang" dan tindak kekerasan dipandang sebagai respon yang tepat untuk memberantas peredaraan obat-obatan terlarang di negara itu. Pasalnya, menurut Carranza, tren penggunaan narkoba di Filipina cenderung menurun.
Ia memaparkan bahwa dalam Rencana Pemberantasan Narkoba Nasional (NDAP) yang diajukan oleh Badan Obat-obatan Berbahaya kepada PBB, disebutkan bahwa terdapat 6,7 juta kasus penggunaan narkoba di Filipina pada 2004. Jumlah ini menurun secara signifikan menjadi 1,7 juta kasus pada 2008, dan menurun kembali menjadi 1,3 juta kasus pada 2012.
Data ini, lanjut Carranza, menunjukkan bahwa kasus penggunaan narkoba di Filipina telah berkurang secara signifikan dalam periode 10 tahun. Dalam kurun waktu itu, metode pembunuhan di luar hukum tidak diterapkan, kecuali di Davao City, yang mendorong Pelapor Khusus PBB soal Pembunuhan di Luar Hukum mengunjungi kota ini dan melakukan investigasi pada 2008 dan 2009.
"Jadi, apa dasar empiris soal diberlakukannya 'perang terhadap narkoba' ini dan seruan bahwa warga sipil dan polisi dapat langsung membunuh pemakai narkoba?" ujar Carranza.
"Nampaknya ini hanya perang melawan warga miskin yang bahkan tidak diberikan hak proses hukum yang sangat mendasar oleh polisi," katanya.
(ama/stu)