Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada China karena mau membantu pembangunan pusat rehabilitasi bagi warganya yang menjadi pencandu narkoba. Namun sebaliknya, ia menyindir bantuan Amerika Serikat yang dianggap sekadar formalitas.
Awalnya, Duterte menyampaikan keluh kesahnya dalam memberantas narkoba kepada warga Filipina yang ada di Indonesia saat bertemu di Hotel Shangri-La, Jakarta, Jumat (9/9).
Ia geram karena tak ada satu pun orang dalam arena politik Filipina yang memperhatikan masalah ini, padahal menurutnya, narkoba sudah memiliki pengaruh dan bahaya laten bagi negaranya.
Sejak kampanye, Duterte pun telah mengizinkan tembak mati bandar dan pengguna narkoba. Sejak dilantik pada 30 Juni lalu, sekitar 3.000 bandar narkoba tewas, baik itu di tangan aparat tanpa proses peradilan maupun persaingan antar-geng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Duterte pun dibombardir kecaman dari berbagai komunitas internasional. Namun ia tak peduli karena menurutnya, kasus narkoba di negaranya sudah sangat parah.
"Apalah artinya nyawa 1.000 orang ketimbang 3,7 juta orang yang menderita karena narkoba? Jika kalian menjual narkoba di negara kami, saya akan membunuh kalian karena kalian menghancurkan seluruh generasi," katanya disambut tepuk tangan tamu undangan.
Tak sampai di situ, kini pemerintahannya belum memiliki dana memadai untuk membangun pusat rehabilitasi guna menampung ribuan pemadat yang ditangkap atau menyerahkan diri.
Di tengah kemelut tersebut, kata Duterte, hanya China yang menunjukkan kepeduliannya dan menawarkan bantuan untuk membangun pusat-pusat rehabilitasi. Meskipun tak menyebut jumlah dan waktu spesifik bantuan tersebut, Duterte sangat berterima kasih atas perhatian China.
"China akan membantu membangun pusat-pusat rehabilitasi. Mereka akan membawa banyak material. Hanya China yang membantu kami. Tahun depan, akan ada pusat rehabilitasi. Kami sedang menyiapkannya. China membantu kami. Saya ingin berterima kasih kepada China karena sudah sangat baik," tuturnya.
Duterte tak menampik, ada banyak kekhawatiran akan China, terutama setelah panasnya hubungan kedua negara pasca diumumkannya putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) mengenai Laut China Selatan.
Filipina mengajukan tuntutan untuk mempertanyakan klaim China atas 90 persen perairan Laut China Selatan yang juga tumpang tindih dengan wilayah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Taiwan.
Meskipun hasilnya dimenangkan oleh Filipina, China tetap menolak keputusan tersebut, bahkan tak mengakui keberadaan pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, itu. Filipina dan China akhirnya sepakat untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut.
"Sepertinya banyak orang takut. Sampai sekarang bahkan belum ada keputusan mengenai Laut China Selatan. Di sana, hanya akan ada dua pilihan, yaitu berbicara atau bertengkar. Filipina melawan China, itu hanya akan jadi pengorbanan jadi kami memutuskan untuk bicara," katanya.
Selama kemelut ini, AS sebagai sekutu dekat Filipina tampak mendukung Manila. AS bahkan memutuskan untuk melakukan patroli bersama di Laut China Selatan bersama Filipina. Namun menurut Duterte, bantuan itu hanyalah formalitas.
"Kami mendapatkan banyak dari AS. Terima kasih untuk kebaikannya. Mereka mengirimkan kepada kami dua, hanya dua jet tempur FA-50. Itu pesawat FA-50, tapi mereka tak memberikan kami rudal dan peluru dan meriam untuk bertarung. Hanya untuk seremonial," katanya, kembali disambut gelak tawa para warga Filipina.
(stu/stu)