Jakarta, CNN Indonesia -- Kesaksian mantan anggota regu tembak yang mengaku mendapatkan perintah langsung dari Rodrigo Duterte memicu desakan agar presiden Filipina itu diselidiki. Kesaksian yang mengejutkan publik itu meningkatkan dugaan bahwa Duterte bertanggung jawab atas ribuan kasus pembunuhan di luar hukum ketika masih menjabat sebagai Wali Kota Davao City.
Kesaksian diutarakan oleh mantan algojo bernama Edgar Matobat di hadapan Senat Filipina pada Kamis (16/9). Ia mengaku bahwa ia dan kelompoknya yang disebut "Pasukan Kematian Davao" (DDS) membunuh sekitar 1.000 orang di Davao city atas perintah Duterte dari 1988 hingga 2013.
Matobato bahkan mengklaim bahwa Duterte sendiri pernah menembak mati seorang pejabat Kementerian Kehakiman Filipina, dan memerintahkannya untuk meluncurkan serangan bom di sebuah masjid yang berisi sejumlah jemaah Muslim, usai serangan bom di Katerdal Davao pada 1993 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini adalah tuduhan yang serius, kami menganggapnya tuduhan serius, dan akan menyelidikinya," kata wakil juru bicara Departemen Luar Negeri AS Mark Toner.
Para pakar menilai ribuan dugaan kasus pembunuhan di luar hukum di Davao City tercermin dalam dugaan pembunuhan serupa dalam perang narkoba gagasan Duterte di seluruh Filipina, yang telah menewaskan ribuan orang. Davao City merupakan kota di mana Duterte menjabat sebagai wali kota sejak dekade 1980-an sebelum dilantik sebagai presiden pada akhir Juni lalu.
Pasalnya, hampir 3.500 terduga pengedar dan pemakai narkoba tewas dalam pembunuhan di luar hukum, baik dalam penyerbuan oleh anggota kepolisian maupun ditembak oleh penembak misterius. Senat Filipina kini tengah menyelidiki ribuan kasus tersebut, dan Matobato menjadi saksi dalam penyelidikan.
Kelompok pemerhati HAM, Human Rights Watch mendesak Manila agar mengizinkan penyelidik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menginvestigasi dugaan pembunuhan di luar hukum itu.
"Presiden Duterte tidak dapat diharapkan untuk menyelidiki [kasus itu] sendiri, sehingga PBB seharusnya dipanggil untuk memimpin upaya tersebut," bunyi pernyataan dari Direktur HRW untuk wilayah Asia, Brad Adams, dikutip dari
AFP.
Duterte selama ini kerap membantah dirinya terlibat dalam dugaan pembunuhan di luar hukum, atau mengizinkan warga main hakim sendiri. Menteri Kehakiman Vitaliano Aguirre menuding Matobato menyebarkan "kebohongan dan rekayasa".
Wilnor Papa, aktivis kelompok pemerhati HAM lainnya, Amnesty International, menyatakan bahwa masalah impunitas ini merupakan warisan pemerintah sebelumnya, yang gagal menyelidiki dan menuntut Duterte.
"Kita sekarang melihat fenomena yang sama dengan yang terjadi di jalan-jalan di Davao pada akhir 1990-an. Targetnya tidak hanya sindikat narkoba, namun juga perampok tas. Mereka bisa menargetkan siapapun atas dasar apapun," kata Papa.
Sementara itu, anggota parlemen, Edcel Lagman mendesak Duterte pada Jumat (16/9) untuk menunjuk sebuah komisi pencari fakta independen yang terdiri dari para pensiunan hakim untuk menentukan identitas dari para pelaku serta korban" pembunuhan.
Sementara itu, nasib Matobato kini belum jelas karena sang Ketua Senat, Aquilino Pimentel, yang telah lama disebut dekat dengan Duterte, menolak memberikan perlindungan dari Senat.
Pimentel berdalih bahwa, "Tidak ada bukti bahwa hidupnya atau keselamatannya terancam."
(ama/stu)