Duterte Diklaim Perintahkan Bom Masjid, Bunuh Muslim

Amanda Puspita Sari | CNN Indonesia
Jumat, 16 Sep 2016 05:50 WIB
Di hadapan Senat, mantan algojo mengaku Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan serangan bom di masjid yang berisi warga Muslim pada 1993.
Di hadapan Senat, mantan algojo mengaku Presiden Filipina Rodrigo Duterte memerintahkan serangan bom di masjid yang berisi warga Muslim pada 1993. (AFP PHOTO/NOEL CELIS)
Jakarta, CNN Indonesia -- Saksi mata yang mengaku pernah menjadi anggota regu tembak bayaran mengklaim bahwa Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang kala itu masih menjabat sebagai Wali Kota Davao City, pernah memerintahkan langsung kepada timnya untuk meluncurkan serangan bom di masjid dan membunuh sejumlah warga Muslim pada 1993.

Mantan algojo itu bernama Edgar Matobato, yang bersaksi di Senat pada Kamis (16/9) untuk membantu penyelidikan soal dugaan praktik pembunuhan di luar hukum dalam kampanye anti-narkoba yang sudah menewaskan 3.140 orang sejak Duterte dilantik dua bulan lalu.

Dilaporkan Inquirer, Matobato mengaku bahwa dia sebelumnya merupakan salah satu anggota Unit Pasukan Bersenjata Warga Daerah (Cafgu) hingga Duterte menjabat sebagai Wali Kota Davao pada 1998 dan merekrutnya untuk bergabung dengan "Lambada Boys," regu tembak beranggotakan tujuh orang yang menjalankan serangkaian pembunuhan di luar hukum atas perintah langsung dari Duterte.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Matobato mengungkapkan bahwa usai serangan bom di Katedral Davao pada 1993, "Duterte memerintahkan untuk membunuh Muslim di dalam masjid."

Ia menyatakan bahwa Duterte sendiri yang menyambangi timnya untuk menginstruksikan serangan itu. Dalam kesaksian itu, Matobato menjawab "ya" ketika ditanya apakah dia berada di ruangan yang sama dengan Duterte ketika pria berusia 71 tahun ini memerintahkan pengeboman masjid.

Matobato kemudian mengakui bahwa ia yang meluncurkan Granat ke Masjid Bangkerohan, menurut laporan Rappler.

Serangan bom itu tidak ada menyebabkan korban luka maupun tewas.

Matobato menyatakan bahwa regu tembak bayaran itu kemudian merekrut lebih banyak anggota, termasuk anggota kelompok pemberontak dan kepolisian. Regu tembak itu kemudian disebut "Pasukan Kematian Davao" (DDS), dengan tugas utama melakukan pembunuhan di luar hukum di kawasan Davao.

Namun, anggota regu tembak itu bekerja diam-diam dan menjadi "karyawan bayangan" di Balai Kota Davao sebagai "Unit Keamanan Sipil."

Ia menyebut tugas regu tembak itu adalah untuk "membunuh warga."

Selain memerintahkan pengeboman dan pembunuhan warga Muslim, Matobato bersaksi bahwa Duterte pernah memerintahkan pembunuhan seseorang bernama Salik Makdum, yang ia culikdari Kota-Pulau Samal pada 2002.

Makdum kemudian diberikan kepada Kepala Nasional Polisi Filipina (PNP) Ronald dela Rosa, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polisi Satuan Khusus Anti Organisasi Kriminal. Makdum kemudian dibunuh beramai-ramai dan dimakamkan di sebuah lahan pertambangan milik seorang polisi.

Dalam kesempatan itu, Matobato juga mengaku membunuh pelaku kriminal dan musuh pribadi atau keluarga Duterte sudah menjadi kegiatan sehari-harinya sejak 1988 hingga 2013.

Kebanyakan korban biasanya diculik oleh kelompok Matobato yang sebelumnya memperkenalkan diri sebagai polisi. Para korban kemudian dibawa ke lahan kuburan, di mana mereka dibunuh dengan cara sadis, seperti dibakar atau dimutilasi, kemudian langsung dimasukkan ke liang lahat.

"Pekerjaan kami adalah membunuh pelaku kriminal, pemerkosa, maling. Itu pekerjaan kami. Kami membunuh orang hampir setiap hari," katanya.

Beberapa korban lain dikosongkan terlebih dahulu isi perutnya sebelum jasadnya dibuang ke laut untuk dimakan ikan. Sejumlah lainnya dibiarkan tergeletak di jalan Davao dan tangannya diatur agar terlihat seperti memegang pistol. (ama/stu)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER