Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, akhirnya mengakui bahwa negaranya membutuhkan Amerika Serikat di Laut China Selatan di tengah memanasnya situasi kawasan karena sengketa wilayah dengan China.
Pernyataan ini dilontarkan setelah sebelumnya Duterte meminta sisa pasukan AS untuk hengkang dari wilayah selatan Filipina karena dianggap dapat menjadi target utama penculikan militan-militan separatis, seperti Abu Sayyaf.
"Saya tidak pernah mengusir mereka dari Filipina, lagipula, kami membutuhkan mereka di Laut China [Selatan]. Kami tidak memiliki persenjataan," ujar Duterte seperti dikutip
Inquirer, Rabu (21/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Duterte menjelaskan bahwa dengan pernyataan ini, bukan berarti Filipina siap berperang dengan China. Menurutnya, berperang dengan China hanya akan berarti kematian besar-besaran.
Situasi di kawasan kian panas pasca diumumkannya putusan Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) mengenai Laut China Selatan.
Filipina mengajukan tuntutan untuk mempertanyakan klaim China atas 90 persen perairan Laut China Selatan yang juga tumpang tindih dengan wilayah Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Taiwan.
Meskipun hasilnya dimenangkan oleh Filipina, China tetap menolak keputusan tersebut, bahkan tak mengakui keberadaan pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda, itu. Filipina dan China akhirnya sepakat untuk membicarakan masalah ini lebih lanjut.
Namun menurut Duterte, AS masih saja memandang rendah Filipina. "Saya benar-benar tidak mengerti apa yang salah dengan orang Amerika. Mereka memandang kami seperti orang rendah," katanya.
Ia pun kembali mengungkit masalah bantuan militer AS yang dianggap sekadar formalitas, seperti sejumlah jet tempur tanpa rudal.
Sementara itu, Duterte mengatakan bahwa Filipina menerima tawaran peralatan anti-terorisme dari China dan Israel. Namun, Filipina dianggap masih perlu berhati-hati dan menerima peralatan intelijen dari sumber-sumber terpercaya.
(stu/stu)