Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam pidato pertamanya di mimbar Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pemimpin negara, Aung San Suu Kyi membela upaya pemerintahannya untuk mengatasi krisis atas perlakuan terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya di Myanmar.
Selama masa kampanye di Myanmar, mantan tahanan politik ini sempat dikritik karena tak menyinggung masalah Rohingya yang terus didiskriminasi.
Di hadapan para pemimpin negara yang hadir dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Rabu (21/9), Suu Kyi mengaku tak takut dengan kritikan publik internasional. Ia justru meminta pengertian dan kontribusi membangun dari masyarakat internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ingin mencapai solusi berkesinambungan yang akan menciptakan perdamaian, stabilitas, dan pembangunan bagi semua komunitas di Myanmar. Pemerintah kami melakukan pendekatan holistik yang membuat pembangunan terpusat baik itu dengan program jangka panjang dan pendek guna menumbuhkan pengertian dan kepercayaan," tutur Suu Kyi.
Peraih Penghargaan Nobel ini kemudian menjabarkan salah satu langkah pemerintah Myanmar, yaitu mendirikan komisi pengawasan kondisi di Rakhine yang dikepalai oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.
Menurut Suu Kyi, Annan sempat mendapat perlawanan dari masyarakat di Rakhine, di mana gesekan masih terus terjadi antara warga lokal dan kaum Rohingya. Namun, Suu Kyi memastikan bahwa pemerintah Myanmar akan tetap melakukan segala upaya untuk mencapai perdamaian di Rakhine.
"Dengan tegas terhadap pasukan yang berprasangka dan intoleran, kami menunjukkan kembali keyakinan kami terhadap HAM yang fundamental, dalam martabat dan nilai kepribadian manusia," ucap Suu Kyi seperti dikutip
Reuters.
Dalam pertemuan terpisah dengan Masyarakat Asia di New York, Suu Kyi menjelaskan bahwa Myanamr masih di tahap awal dalam perjalanan panjang menuju demokrasi dengan 25 kursi parlemen yang masih diberikan kepada anggota militer.
Kini, kata Suu Kyi, prioritas utama pemerintah adalah menciptakan lapangan pekerjaan dan memastikan banyak investor tertarik dengan daerah etnis minoritas yang belum berkembang.
Saat berkunjung ke Washington pekan lalu, Suu Kyi juga meminta agar AS berinvestasi di Myanmar demi menguatkan laju transisi demokrasi di negaranya. Ia pun meminta Presiden Barack Obama untuk mencabut sanksi atas Myanmar.
Suu Kyi menegaskan, pemerintah sampai saat ini masih terus berusaha membawa perubahan, begitu pula dengan perdamaian di Rakhine.
"Rakhine itu miskin. Para kaum Muslim, mereka miskin, dan kami ingin semua orang di sana merasa aman, Apa yang sudah kami coba lakukan adalah mencari jalan untuk meredakan ketegangan komunal dan menghentikan perselisihan komunal," katanya.
Seperti diberitakan
Reuters, kebebasan berpendapat di Myanmar memang membaik sejak militer mulai mengendurkan kekuasaannya yang absolut pada 2011, sehingga sentimen anti-Muslim pun berkurang.
Namun, sekitar 125 ribu orang Rohingya masih berdiam di kamp-kamp sementara akibat gelombang kekerasan antara Buddha dan Muslim pada 2012 yang menewaskan 100 orang.
Sejak lama, kaum Rohingya selalu didiskriminasi dan dihakimi sendiri oleh mayoritas Buddha di Rakhine. Warga Buddha menganggap Rohingya hanyalah imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun sebenarnya mereka sudah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi.
(stu)