Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang pemilu presiden, banyak warga Amerika Serikatyang masih belum menentukan pilihan di antara dua capres dari partai besar, Donald Trump yang diusung Republik dan Hillary Clinton yang dijagokan Demokrat.
Pasalnya, Trump yang ceplas-ceplos kerap dinilai meluncurkan program yang kontroversial namun dirasa tak masuk akal. Sedangkan Clinton, banyak meluncurkan janji yang serupa dengan presiden petahana, Barack Obama, membuatnya kerap disebut sebagai "penerus Obama."
Selama masa kampanye, keduanya kerap kali saling serang program satu sama lain. Ejekan, tudingan, bahkan kata-kata kasar bagi masing-masing kandidat merupakan hal yang biasa ditemukan di panggung kampanye Trump dan Clinton. Iklim kampanye yang buruk ini membuat warga AS terpolarisasi; pendukung Trump akan mencemooh Clinton, begitu juga sebaliknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Media AS,
Huffington Post, dan lembaga survei YouGov menggelar jajak pendapat pada September lalu yang menunjukkan bahwa Clinton dan Trump adalah capres terburuk dari masing-masing partai sejak tahun 1976.
Survei itu menunjukkan bahwa 45 persen warga Amerika yang mengikuti survei ini menganggap Trump merupakan capres terburuk dari Republik selama 40 tahun terakhir. Hanya 10 persen yang menilai Trump kandidat terbaik dari partai konservatif itu.
Tak hanya Trump, Clinton juga mendapatkan hasil serupa. Sebanyak 31 persen responden menyebutnya sebagai kandidat terburuk dari Demokrat selama 40 tahun terakhir. Hanya 3 persen responden yang menilai mantan menteri luar negeri AS itu capres terbaik dari Demokrat.
Survei yang dilakukan terhadap 1.000 warga AS itu juga menunjukkan bahwa 37 persen di antara responden menilai Trump merupakan kandidat terburuk, terlepas dari apapun partainya. Sebanyak 22 persen lainnya menilai Clinton capres terburuk.
Sementara itu, jajak pendapat lain yang digelar
New York Times/CBS pada Juli lalu menunjukkan bahwa banyak warga AS tak mempercayai kedua capres itu. Dari 393 responden Republik dan 441 responden Demokrat yang mengikuti survei, kurang dari sepertiga di antaranya yang menilai Clinton dan Trump dapat dipercaya.
Menurut laporan
New York Times, hasil survei ini sedikit banyak terpengaruh dari kebijakan masing-masing kandidat. Kebijakan Trump yang kontroversial, seperti membangun tembok di perbatasan yang dibiayai oleh Meksiko, dinilai terlalu mengada-ada.
Kolumnis
NYT, David Brooks, bahkan menyebut Trump "mungkin orang yang paling tidak jujur yang pernah mencalonkan diri sebagai presiden."
Sementara itu, banyak warga AS yang menilai Clinton tidak mencerminkan apa yang dia usung, yakni seorang feminis, liberal, moderat maupun pejuang kelas pekerja. Clinton juga dihantui oleh isu penyalahgunaan server email pribadi saat masih menjabat sebagai menlu AS, dan kerap disalahkan atas insiden penyerbuan kantor konsulat jenderal AS di Benghazi, Libya.
Jajak pendapat yang digelar Pew bahkan menunjukkan bahwa dari 3.941 responden, 57 persen di antaranya merasa "frustrasi" sementara 55 persen lainnya "jijik" dengan kandidat pilpres tahun ini.
Mencari 'Iblis' yang Lebih BaikWarga AS yang meragukan kemampuan dan ketulusan kedua kandidat ini kemudian kerap menyebut bahwa pilpres kali ini adalah soal mencari kandidat yang lebih baik di antara yang buruk, atau lebih dikenal dengan frase "Lesser of Two Evils".
Frase ini banyak disebut-sebut oleh para pemilih yang belum menentukan dukungan mereka, terutama di negara bagian Florida dan Ohio, menurut laporan
CNN.
"Jujur, saya merasa pemilu ini adalah soal mencari 'iblis' yang lebih baik. Kedua kandidat bermasalah," kata Michelle, warga kulit putih yang bekerja di sektor keuangan dan tinggal di Tampa, Florida.
Michelle mengaku akan memilih Trump, karena dia sudah menyerah dengan berbagai kebijakan Washington di tangan Barack Obama yang diusung oleh Partai Demokrat.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Margaret DeBellottee-Torres, seorang warga keturunan Afrika-Amerika yang tinggal di lingkungan yang sama dengan Michelle. "Kita harus memilih 'iblis' yang lebih baik. Saya rasa itu Hillary, dia 'iblis' yang lebih baik ketimbang yang lain," ujarnya.
Siapapun yang akan memenangi kursi panas Gedung Putih usai 8 November mendatang harus menghadapi berbagai tantangan global seiring dengan kebijakan AS saat ini, termasuk soal upaya menuntaskan konflik di Timur Tengah, Asia, dan Afrika.
Namun, satu hal penting yang patut diingat, capres yang terpilih, baik Trump ataupun Clinton, harus mampu mempersatukan warga AS yang terlanjur terpolarisasi selama kampanye mereka yang dinilai berlangsung sangat buruk.
(ama)