Jakarta, CNN Indonesia -- "Saya orang beriman. Saya dulu percaya pada Khalifah dan Negara Islam. Sekarang tidak lagi. Tentu saya seorang Muslim, dan saya masih melakukan ibadah. Tidak ada yang berubah dari keyakinan saya, namun soal Negara Islam, saya tidak mau lagi dikaitkan dengan mereka."
Kalimat itu dilontarkan oleh Abdelrahman al-Azy dari balik jeruji besi yang kini mengungkungnya. Dengan tangan terikat borgol, pria berusia 23 tahun ini menuturkan kisahnya bergabung dengan kelompok militan ISIS selama sekitar satu tahun. Kepada
CNN yang menemuinya di penjara rahasia di wilayah utara Irak pekan ini, Azy mengaku menyesali segala perbuatannya.
Keterlibatan Azy dengan ISIS dimulai sekitar setahun lalu ketika ia memutuskan berbaiat setia kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi, melalui ponselnya. Ia mengaku bergabung dengan ISIS murni karena ia sebelumnya menyakini seluruh propaganda yang diserukan kelompok militan itu kepadanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka berkata janji kepada Khalifah sudah dimulai pada masa nabi, dan mereka yang tidak berbaiat setia bukanlah Muslim. Saya sempat meyakini hal ini," tutur Azy.
Tinggal di Kirkuk, kota yang didominasi warga Kurdi, peran Azy adalah sebagai sel ISIS yang bekerja secara rahasia. Ia bertanggung jawab mendistribusikan upah berupa uang tunai kepada para militan dan keluarganya.
Namun di saat-saat tertentu, peran Azy bertambah, seiring dengan meningkatnya aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militan itu. Tak jarang, ia harus menjadi kaki tangan untuk membantu militan ISIS lainnya melakukan pembunuhan.
 Keterlibatan Azy dengan ISIS dimulai sekitar setahun lalu ketika ia memutuskan berbaiat setia kepada pemimpin ISIS, Abu Bakr Al-Baghdadi, melalui ponselnya. (Dok. edition.cnn.com) |
Azy sering kebagian tugas menjadi sopir untuk mengantarkan militan ISIS menuju rumah anggota Badan Kontraterorisme Irak. Ia bertugas mengawasi situasi ketika rekannya menembak dan membunuh pejabat Irak. Ia akan melaju kencang kendaraannya untuk melarikan diri setelah misi itu selesai.
Kepada
CNN, Azy mengaku ia dulu merasa bangga akan setiap pembunuhan yang ia bantu. Namun kini, ia menyesali semua perbuatannya.
Upah besar Azy merupakan salah satu dari tiga militan ISIS yang diwawancarai CNN di penjara yang dijalankan oleh kelompok warga Kurdi. Dua militan lainnya, Laith Ahmed dan Akram Ahmed masing-masing memiliki peran yang berbeda dalam organisasi ISIS.
Latih Ahmed, 26, bekerja sebagai tukang kayu ketika ISIS menguasai desanya dekat kota Hawija pada musim panas 2014. Tiga hari kemudian, seorang pria datang kepadanya menjanjikan gaji besar jika ia bergabung dengan yang disebut Negara Islam. Miskin dan buta huruf, Ahmed kemudian setuju untuk bergabung, tanpa mengetahui risikonya.
"Saya membuat kesalahan. Saya tidak tahu bagaimana membaca atau menulis. Semua yang saya lakukan adalah salah," ujar Ahmed, yang bertugas sebagai pelaku bom bunuh diri.
 Akram Ahmed ditawari upah besar untuk bergabung dengan militan ISIS dan meninggalkan pekerjaannya di toko perbaikan ponsel. (Dok. edition.cnn.com) |
Iming-iming serupa juga membuat Akram Ahmed, setuju untuk bergabung dengan ISIS. Ia ditawari upah besar untuk bergabung dengan militan dan meninggalkan pekerjaannya di toko perbaikan ponsel.
"Khalifah membujuk kami dengan agama. Saya mahasiswa jurusan hukum Syariah, dan propaganda mereka berhasil meyakinkan saya," tutur Ahmed, yang bertugas merekam dan mengambil gambar sejumlah bangunan milik pemerintah yang dijadikan target ISIS.
Kisah ketiga militan ISIS ini menggambarkan bagaimana ISIS menggunakan propaganda mereka yang mengatasnamakan Islam, dan upah yang besar demi merekrut para pemuda di Irak.
Ketiganya termasuk dari ratusan militan ISIS yang berhasil dibekuk pasukan Kurdi dalam sebuah penyerbuan beberapa waktu lalu. Operasi itu menewaskan 96 orang dan dilakukan bersamaan dengan upaya merebut kembali kota Mosul dari cengkeraman ISIS.
Azy turut memaparkan pandangannya terkait operasi besar-besaran di Mosul, yang melibatkan tentara Irak, pejuang Kurdi, serta dibantu oleh koalisi serangan udara pimpinan Amerika Serikat.
"Di Irak, ISIS akan terus hidup karena terdapat begitu banyak sel [militan]. Tengok saja di Kirkuk, sangat banyak sel. Menurut saya, meski mereka kalah di Mosul, mereka akan tetap bercokol di Irak," tuturnya.
(ama/den)