Sebelum AS, Rusia Disebut Kerap Retas Eks Negara Soviet

Riva Dessthania Suastha | CNN Indonesia
Rabu, 04 Jan 2017 18:20 WIB
Di tengah protes AS terkait intervensi Rusia dalam pemilu 8 November lalu, sejumlah negara eks Soviet menyebut peretasan Moskow ini telah berlangsung lama.
Ilustrasi. (Reuters/Kacper Pempel)
Jakarta, CNN Indonesia -- Di tengah mencuatnya protes Amerika Serikat terhadap dugaan campur tangan Rusia melalui serangkaian serangan siber dalam pemilu, sejumlah negara bekas Uni Soviet mengaku sudah dilanda serangan serupa sejak bertahun lalu.

Menteri Pertahanan Latvia, Janis Garisons, menuturkan bahwa sejumlah instansi pemerintah negaranya kerap menjadi target serangan siber dari Moskow. Perang informasi itu menyerang lembaga pemerintah negara itu setiap harinya selama bertahun-tahun.

"Peretasan dalam kampanye pemilu yang menurut sejumlah pihak [seperti AS] adalah hal baru, menurut kami itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu," ujar Garisons dalam wawancara khusus dengan CNN.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami menghadapi propaganda Rusia, perang informasi, dan bahkan psikologi sejak dulu," tuturnya lagi.

Tak hanya Latvia, mantan presiden Georgia, Mikheil Saakashvili, menuturkan bahwa Kremlin telah melakukan sejumlah serangan siber dalam periode berbeda. 

"Bagi saya [peretasan Rusia di pemilu AS] itu deja vu," ucap presiden Georgia ke-3 itu.

"Pada 2012 lalu, Rusia jelas-jelas terlibat dalam pemilu Georgia. Mereka juga menyebarkan rumor dan melakukan trik kotor lainnya. Saat itu, Duta Besar AS malah menganggap kami berlebihan," kata Saakashbili.

Sementara itu, baru-baru ini Ukraina juga mengumumkan sejumlah instansi pemerintahnya menjadi target dari sepuluh serangan siber besar.

Sejumlah lembaga seperti perusahaan kereta api nasional, kementerian keuangan, dan kementerian infrastruktur menjadi sasaran serangan dunia maya tersebut.

Melalui laman Facebook, Kementerian Infrastruktur Ukraina membenarkan peretasan situs lembaganya itu.

"Kami menganggap serangan pada situs kami sebagai upaya serangan terhadap sumber-sumber pemerintah yang semakin kuat belakangan ini," tulis kantor pemerintah itu.

Desember 2015 lalu, salah satu perusahaan listrik Ukraina menjadi korban peretasan yang menyebabkan terputusnya jaringan listrik pada setidaknya 186 kota di seluruh penjuru negara itu.

Pemerintah Ukraina tidak pernah menyebutkan secara gamblang pelaku penyerangan siber ini. Namun, ahli dari Kementerian Pertahanan Nasional AS dan penyelidik Ukraina menyimpulkan, penyebab kejadian ini adalah sebuah dokumen Microsoft Word yang terinfeksi virus dan diyakini berasal dari Rusia.

Direktur Komunikasi Strategis Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Janis Sarts, mengatakan bahwa peretasan yang kerap disebut sebagai strategi perang hybrid Rusia ini telah mengakar dan menjadi taktik intelijen negara itu sejak 1970-an.

"Mereka menggunakan taktik ini melalui kordinasi dengan media tradisional, sosial media, aktor non-pemerintah, dan lembaga berpengaruh dengan cara yang koheren untuk medapatkan efek yang diinginkan penonton," kata Sarts.

Isu peretasan dan intervensi Rusia ini kembali mencuat usai kekalahan Hillary Clinton dari Donald Trump dalam pemilu lalu. Isu ini semakin menjadi setelah sejumlah komunitas intelijen seperti Lembaga Pusat Intelijen AS (CIA) mengatakan bahwa campur tangan Rusia dalam pemilu kemarin bertujuan untuk membantu Trump.

FBI bahkan mengaku memiliki bukti sampel kode komputer berbahaya yang digunakan dalam peretasan besar-besaran oleh Moskow ini.

Bersamaan dengan rilisnya laporan FBI, Obama memutuskan untuk menjatuhkan sejumlah sanksi diplomatik dan ekonomi terhadap Rusia, termasuk dengan mengusir 35 diplomat Rusia dari AS.

Sementara itu, Moskow terus menampik tudingan keterlibatan dalam peretasan ini.

Pada Jumat pekan lalu, juru bicara Presiden Vladimir Putin, Dmitry Peskov, menyebut tudingan Gedung Putih terhadap Kremlin ini sebagai tuduhan tidak bertanggung jawab dengan tanpa dasar yang konkret.

Rusia bahkan menyebut AS telah memanfaatkan Rusia sebagai kambing hitam untuk menutupi kekalahan Clinton dalam pemliu kemarin.

(has)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER