Hubungan 'Benci Tapi Rindu' Indonesia-Australia

Hanna Azarya Samosir | CNN Indonesia
Sabtu, 07 Jan 2017 09:56 WIB
Hubungan Indonesia-Austalia beberapa kali mengalami pasang surut karena dipicu masalah bilateral. Namun di balik persoalan itu, keduanya tetap mesra.
Hubungan Indonesia-Austalia beberapa kali mengalami pasang surut karena dipicu masalah bilateral. Namun di balik persoalan itu, hubungan keduanya tetap mesra. (Australian Defence Force/Handout via REUTERS)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hubungan antara Indonesia-Australia kembali menghangat ketika keputusan TNI untuk menghentikan sementara kerja sama militer dengan negara kangguru itu mencuat pada awal 2017.

Keputusan itu menimbulkan reaksi luas. Publik mulai mempertanyakan kelanjutan hubungan bilateral kedua negara yang memang kerap mengalami pasang surut.

Pasalnya, pelbagai pemberitaan pada Rabu (4/1) menyebutkan bahwa TNI menghentikan sementara 'segala' kerja sama militer dengan Pasukan Pertahanan Australia (ADF).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berita semakin besar ketika Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, membeberkan bahwa penghentian ini dilakukan karena ada materi pelajaran militer Australia yang diduga melecehkan Indonesia.

Hal itu bermula saat seorang perwira Angkatan Darat yang dikirim untuk mengajar di Perth melaporkan, dalam kurikulum militer Australia ditemukan dukungan pada kemerdekaan Timor Leste dan Papua, serta Pancasila dipelesetkan menjadi Pancagila.

Menteri Pertahanan Australia, Marise Payne, langsung mengonfirmasi adanya keluhan tersebut dan memastikan bahwa proses investigasi sedang dilaksanakan. Namun menurutnya, kerja sama yang ditangguhkan tidak mencakup semua aspek.

Kesimpangsiuran berita pun merebak hingga hari berganti.

Akhirnya, Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan mengonfirmasi bahwa kerja sama yang ditangguhkan hanya mencakup bidang pelatihan linguistik.

Presiden Joko Widodo pun memastikan bahwa penghentian sementara kerja sama ini tidak akan merusak hubungan bilateral kedua negara.

Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull, pun mengamini pernyataan Jokowi dan mendesak agar proses investigasi segera dirampungkan.
Jokowi mengatakan hubungan Indonesia dan Australia tak terpengaruh karena masalah pemutusan kerja sama soal bahasa.Jokowi mengatakan hubungan Indonesia dan Australia tak terpengaruh karena masalah pemutusan kerja sama soal bahasa.(CNN Indonesia/Christie Stefanie)
Pengamat militer dari CSIS, Evan Laksmana, mengatakan bahwa berita penghentian kerja sama ini seharusnya tidak perlu sampai meluas.

"Keputusan TNI sudah tepat, tapi yang disayangkan, pemberitaan melebar karena adanya kesimpangsiuran yang tidak langsung diklarifikasi. Dalam satu hari, sudah banyak spekulasi yang bisa muncul," ujar Evan kepada CNNIndonesia.com, Jumat (6/1).

Lebih jauh, menurut Evan kerja sama militer antara Australia dan Indonesia begitu berharga bagi kedua negara, sehingga tidak mungkin masalah ini dibiarkan berlarut.

Evan kemudian menarik contoh ketika pada 2012, Indonesia memutuskan untuk menghentikan kerja sama militer dengan Australia setelah terkuak fakta bahwa Canberra menyadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah pejabat lainnya.

"Setelah ada Code of Conduct yang disepakati, semua langsung baik-baik saja. Kerja sama militer berjalan lagi seperti biasa," katanya.

Melakukan Kesepakatan

Menurut Evan, permasalahan kali ini juga akan diselesaikan dengan cepat. Pemerintah Australia hanya harus menyesuaikan beberapa aspek dalam teknis pengajaran.

“Ketika ada keluhan seperti ini, pasti akan cepat disepakati hal apa saja yang bisa masuk dan tidak, sesuai dengan prinsip menghormati dan menghindari isu sensitif," katanya.

Evan kemudian mengatakan, kejadian seperti ini bisa saja terjadi di kemudian hari karena ada luka lama antara kedua negara akibat konflik pemisahan diri Timor Timur dari Indonesia pada 1999.

"Pengalaman tahun 1999 itu meninggalkan luka yang dalam dan belum hilang sepenuhnya. Butuh waktu untuk memulihkan rasa kepercayaan dari kita. Kedua negara harus bersabar menghadapi ini," kata Evan.

Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan bahwa penghentian sementara kerja sama militer ini dapat menjadi momentum yang baik untuk Indonesia.

"Peristiwa ini bagi Indonesia menjadi preseden yang baik agar Australia melalui pejabat-pejabatnya tidak mudah melakukan tindakan pelecehan terhadap tokoh Indonesia ataupun merendahkan isu yang sensitif bagi Indonesia," katanya.

Isu pemisahan diri wilayah terluar Indonesia memang menjadi salah satu hal sensitif yang kerap memantik ketegangan kedua negara.

Pada 2006, hubungan kedua negara tegang karena Australia memberikan suaka politik kepada warga Papua yang tidak sedang dalam pengejaran aparat.
Salah satu aktivitas bersama militer Australia-IndonesiaSalah satu aktivitas bersama militer Australia-Indonesia. (Australian Defence Force/Handout via REUTERS)

Enam tahun kemudian, tepatnya 2012, Indonesia mencurigai Australia memberikan dukungan kepada Organisasi Papua Merdeka setelah sebuah toko di Perth memajang bendera OPM.

Tak hanya isu separatisme, hubungan kedua negara juga sempat diguncang masalah lain. Pada 2011, misalnya, warga Australia mendesak pemerintah menghentikan ekspor sapi ke Indonesia setelah sebuah tayangan di televisi menunjukkan penjagalan dan penyiksaan sapi di Indonesia.

Hubungan kedua negara kembali terguncang ketika pada 2013, WikiLeaks membocorkan dokumen berisi bukti Australia menyadap telepon seluler Presiden SBY dan sejumlah pejabat lain.

Di tahun itu, Australia juga menerapkan undang-undang untuk mengirim balik kapal-kapal imigran yang tiba di negaranya. Aturan ini membuat Indonesia kebanjiran imigran.

Pada 2015, ketegangan kembali terjadi ketika Indonesia menolak permohonan grasi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, anggota komplotan pengedar narkoba asal Australia yang dikenal dengan julukan Bali Nine.

Hubungan Tak Putus

Meskipun terus mengalami pasang surut, sejumlah pengamat yakin hubungan kedua negara tidak akan pernah putus dalam jangka waktu lama. Pasalnya, Indonesia dianggap sebagai rekan yang penting bagi Australia.

Anggapan ini juga disuarakan oleh Kepala Departemen Hubungan Internasional di Universitas Nasional Australia, Mathew Davis.

"Tanpa Indonesia, semua negara rekan kunci Australia akan jauh. Hubungan yang kuat membantu Australia merasa menjadi bagian dari kawasan, memastikan kepentingan Australia didengar dan dihargai, dan Australia merasa tidak terisolasi," katanya.

Pernyataan Davis itu juga diakui oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional Binus University, Tirta Mursitama. Menurutnya, Australia akan terus membutuhkan Indonesia sebagai negara yang memiliki peranan penting di kawasan Asia.

"Jika dilihat, Australia itu sebenarnya sendirian, tapi dalam setiap kesempatan, mereka selalu ingin diidentifikasi sebagai negara Asia," katanya.
Ilustrasi imigran.Ilustrasi imigran. (Foto: REUTERS/Giorgos Moutafis)
Menurut Tirta, Australia memiliki pandangan untuk menjadi kekuatan menengah yang punya peran aktif di kawasan. Indonesia dapat menjadi jembatan bagi Australia.

Indonesia memang sering menggandeng Australia dalam menjalankan perannya di kawasan. Sebut saja ketika Indonesia mengajak Australia menjadi co-chair dalam konferensi tahunan Bali Process yang membahas masalah imigran di kawasan.

Australia sebenarnya kerap dikritik karena menerapkan regulasi mendorong balik kapal imigran yang tiba di perbatasan negaranya. Penerapan aturan ini membuat banjir imigran di kawasan Asia Tenggara.

Canberra semakin dikritik karena tak mau menampung imigran, padahal Australia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi Imigran Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sementara itu, Indonesia sebagai negara yang tak meratifikasi konvensi itu diapresiasi oleh banyak negara karena berinisiatif mengadakan konferensi Bali Process dan menggandeng Australia.

Hasil dari Bali Process ini juga sangat diapresiasi oleh komunitas internasional. Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, mengatakan bahwa salah satu mekanisme penanganan imigran yang digagas dalam Bali Process bahkan dibawa ke PBB untuk menjadi rujukan.

Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips Vermonte, mengatakan bahwa Bali Process memang merupakan salah satu dari banyak hal yang membuat Indonesia dipandang. 


Tirta mengatakan, pandangan baik komunitas internasional terhadap Indonesia ini membuat Canberra akan lebih membutuhkan Indonesia untuk masuk ke kawasan Asia, di tengah ketidakpastian pasca terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat.

"Australia selama ini dikenal dekat dan condong ke Amerika Serikat. Sekarang, Trump mulai menunjukkan gelagat akan menutup diri. Ini menyebabkan Australia akan lebih mencari cara untuk masuk ke Asia," katanya.

Kini, kata Tirta, banyak negara khawatir China tak memiliki penyeimbang di Asia. Australia pun akan semakin terdesak untuk bisa masuk ke Asia.

"Jika Australia kehilangan Indonesia, mereka akan kehilangan privilege untuk masuk ke kawasan Asia. Ini adalah kerugian besar," katanya.
(asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER