Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Rusia menganggap perundingan damai antara pemerintah Suriah dan oposisi militer yang diselenggarakan 23 Januari lalu di Astana, Kazakhstan, adalah sebuah sebuah keberhasilan.
“Kami menganggap pertemuan ini sangat sukses karena ini pertama kalinya mereka bertemu di satu meja ,” kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Mikhail Yurievich Galuzin kepada wartawan di Kedubes Rusia di Jakarta, Selasa (31/1).
Pertemuan antara dua pihak berseteru ini tercapai usai gencatan senjata 30 Desember lalu. Pertemuan selama dua hari ini dihadiri oleh delegasi PBB, pemerintah Rusia, Turki, Iran, Suriah, dan juga perwakilan pemberontak.
Galuzin menytatakan perundingan ini adalah jawaban bagi kritikan sejumlah negara yang selama ini menganggap peran Kremlin di Suriah sama sekali tidak berdampak pada penyelesaian konflik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rusia juga berharap dengan dimulainya pembicaraan damai ini, negara-negara lain dapat ikut berpartisipasi secara aktif menyalurkan bantuan kemanusiaannya ke Suriah. Pasalnya, selama ini bantuan kemanusiaan sulit disalurkan ke sejumlah daerah konflik sebelum gencatan senjata ditetapkan.
Dalam pembicaraan ini, Rusia juga turut mengusulkan rancangan ide bagi rekonsiliasi politik Suriah. Meskipun begitu, Galuzin menampik bahwa rancangan tersebut dibuat sebagai acuan rancangan konstitusi Suriah.
Galuzin mengaku, rancangan “ide” tersebut hanya berisikan sejumlah gagasan bagi Suriah dalam menyelesaikan konflik politik ini. Dokumen gagasan Rusia itu ditujukan untuk menstimulasi resolusi politik di Suriah.
“Dokumen yang digagas Rusia ini bukan merupakan paksaan rancangan konstitusi bagi Suriah. Dokumen itu hanya berisikan acuan dan poin-poin yang mesti diangkat pemerintah Suriah untuk selesaikan konflik politiknya tersebut,” kata Galuzin.
“Kami, Rusia percaya bahwa warga Suriah sendiri lah yang patut menentukan masa depan negaranya tanpa paksaan dan kepentingan dari pihak luar,” tuturnya menambahkan.
Meski begitu, Galuzin tak menampik bahwa pertemuan pertama di Astana kemarin dihadapkan dengan sejumlah masalah, salah satunya keengganan kelompok oposisi bertemu dan bernegosiasi langsung dengan perwakilan pemerintah Suriah.
Kedua pihak berkonflik juga masih dirundung rasa saling curiga dan saling menuduh bahwa salah satu pihak melanggar perjanjian gencatan senjata.
“Meski masih ada perasaan negatif dan pesimis antar kedua pihak berkonflik, setidaknya mereka sudah mau bertemu secara damai di meja perundingan,” kata Galuzin.
(aal)