Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis lingkungan di Selandia Baru pada Minggu (12/2) mengaku optimis kalau sapuan gelombang besar akan segera berakhir. Sebelumnya, gelombang besar itu mengakibatkan ratusan paus terdampar di kawasan perairan mereka.
Gelombang besar di perairan terjadi sejak Jumat (10/2). Saat itu, sebanyak 416 ekor paus ditemukan terdampar di kawasan Farewell Spit. Ratusan ekor paus lain menyusul terdampar hingga akhir pekan ini.
Banyak yang menduga kalau gelombang besar mengakibatkan sinyal komunikasi antar paus yang sedang bermigrasi menjadi terganggu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah gelombang dirasa aman, ratusan paus yang masih hidup dibantu kembali untuk berenang ke perairan.
“Ini adalah kabar baik. Mereka telah kembali berenang dengan kondisi yang layak,” kata Manajer Regional Departemen Konservasi Andrew Lamason, seperti yang dilansir dari
AFP.“Kami membantunya berenang sampai ke tengah perairan dengan menggunakan perahu,” lanjutnya.
Setelah mengetahui kalau ada kawanan paus yang terdampar, ratusan penduduk Selandia Baru berbondong-bondong datang untuk membantu menyelamatkan mereka.
Salah satu aksi penyelamatan ialah dengan mengguyur badan mamalia itu dengan air sebanyak-banyaknya.
Selama tiga hari mereka melakukan aksi tersebut, sembari menunggu gelombang reda.
Para penduduk yang datang tak kuasa menahan haru saat mengetahui kalau kawanan paus itu telah bisa kembali berenang.
Lamason memperkirakan kalau sebanyak 666 ekor paus terdampar.
“Itu angka yang sangat bagus untuk sebuah teori konspirasi,” kata Lamason, mengutip jumlah angka ‘666’ yang sering disebut angka iblis dalam Injil.
Memang tak sedikit orang yang memperkirakan kalau terdamparnya paus berhubungan dengan bencana alam yang akan menimpa Negeri Kiwi itu.
Di media sosial, banyak orang yang menghubungkan terdamparnya paus dengan gempa bumi pada 2011.
Namun, peneliti menyatakan kalau teori konspirasi itu tak beralasan kuat.
“Hal tersebut belum terbukti. Kawanan paus itu hanya mengalami kesalahpahaman saat melalui kawasan ini,” kata salah satu peneliti, Rochelle Constantine.
(ard)