Jakarta, CNN Indonesia -- Human Rights Watch melaporkan bahwa kepolisian Filipina kerap memalsukan bukti agar memiliki alasan untuk membunuh warga dalam operasi anti-nakroba kontroversial yang dicanangkan Presiden Rodrigo Duterte.
"Polisi Nasional Filipina [PNP] kerap melakukan pembunuhan di luar hukum terhadap tersangka narkoba dan mereka menyebutnya sebagai pertahanan diri. Mereka menaruh senjata, amunisi, atau paket narkoba di tubuh korban untuk menuduh mereka terlibat dalam peredaran narkoba," demikian kutipan
laporan HRW.
Dalam laporan bertajuk "License to Kill: Philippine Police Killings in Duterte’s ‘War on Drugs'" itu, HRW mengatakan bahwa setelah aksi tersebut, polisi biasanya membawa jasad korban, kemudian melabelinya dengan "jenazah temuan" atau "kematian dalam penyelidikan."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
HRW pun menyatakan keraguan mereka atas klaim pemerintah Filipina bahwa terduga narkoba yang tewas di jalanan merupakan korban dari persaingan antar-kartel.
Laporan ini disusun berdasarkan wawancara HRW di Metro Manila dengan 28 anggota keluarga korban, saksi mata, juga jurnalis dan aktivis hak asasi manusia.
Di daerah itu, HRW mencatat 24 insiden yang menyebabkan melayangnya 32 nyawa. Insiden itu biasanya terjadi tengah malam di jalan-jalan atau gubuk di tempat-tempat kumuh.
Sejumlah saksi mata mengatakan, para "pria penyerang" bersenjata itu biasanya bekerja dalam kelompok-kelompok kecil. Mereka kerap mengenakan baju berwarna hitam, terkadang menggunakan masker, topi baseball, layaknya warga biasa.
Kelompok ini kemudian akan menggedor pintu-pintu tanpa memperkenalkan diri atau menunjukkan surat penangkapan. Para anggota keluarga target penangkapan dapat mendengar kerabat mereka berteriak, menangis, memohon ampun atas kesalahan yang mungkin saja sebenarnya tak dilakukan.
"Penembakan bisa terjadi kapan saja, di balik pintu tertutup atau di jalan, atau mereka dapat membawa target pergi, di mana beberapa menit kemudian, akan terdengar suara tembakan dan para tetangga menemukan jasad setelahnya, terkadang dengan tangan terikat," tulis HRW.
 Para tetangga biasanya melihat jasad tergeletak di pinggir jalan setelah mendengar suara tembakan. (AFP Photo/Noel Celis) |
Dengan operasi besar-besaran serupa di berbagai daerah lainnya, hingga kini dilaporkan sudah ada 8.000 tersangka pengedar narkoba yang tewas tanpa proses peradilan jelas sejak Duterte menjabat pada 30 Juni lalu.
Hanya sebagian kematian yang diklaim oleh PNP, sementara sisanya disebut pemerintah sebagai korban dari persaingan antar-kartel di sejumlah daerah.
Duterte selalu mengatakan, target operasi ini adalah bandar narkoba. Namun menurut HRW, kebanyakan korban justru hanya rakyat miskin pengangguran yang kecanduan narkoba. Mereka adalah korban dari para pengedar.
"Atas nama operasi anti-narkoba, kepolisian Filipina di bawah tekanan Duterte, membunuh ribuan warga Filipina. Kebanyakan kasus pembunuhan tersangka narkoba ini memiliki ciri yang sama, mengindikasikan satu pola kekerasan polisi," kata penyusun laporan HRW, Peter Bouckaert.
(has)