Jakarta, CNN Indonesia -- Serangan puluhan rudal Tomahawk Amerika Serikat ke salah satu pangkalan udara Suriah di Homs pada Jumat (7/4) disebut tak masuk akal dan tak akan berhasil menghentikan penggunan senjata kimia oleh rezim presiden Bashar al-Assad.
Seorang dosen jurusan ilmu hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada, Siti Mutiah Setiawati, mengatakan cara untuk menghentikan penggunaan senjata kimia ini adalah dengan menggulingkan Bashar al-Assad dari kursi kepresidenan.
“Tidak masuk akal jika serangan AS itu dilakukan untuk hentikan penggunan senjata kimia oleh Assad. Kenapa tidak ditangkap saja Assad kalau memang dialah
trouble maker-nya?” ujar Siti saat dihubungi
CNNIndonesia.com, belum lama ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Negara Barat menyalahkan Assad dalam insiden di Kota Khan Sheikun, Provinsi Idlib, yang menewaskan sedikitnya 90 orang itu. Barat bahkan menganggap Assad sebagai penjahat perang.
Meski begitu, pemerintah Suriah terus menampik segala tudingan penggunaan senjata kimia. Damaskus mengelak dengan menyatakan, pesawat tempur mereka menyerang situs teroris yang berisikan gudang senjata kimia.
Menurut Siti, tidak sulit bagi AS dan komunitas internasional untuk menangkap Assad jika memang dia terbukti kembali menggunakan senjata kimia kepada rakyatnya sendiri.
Karena itu, pengajar politik dan pemerintahan Timur Tengah ini menekankan pentingnya Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera bertindak menangani situasi di Suriah ini.
Siti mengatakan, PBB, sebagai penengah, perlu segera melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan serangan senjata kimia ini.
“AS pernah mengintervensi Irak dan Libya yang akhirnya berhasil menggulingkan Saddam Hussein dan Moammar Gaddafi. Dua pemimpin ini kasusnya sama dengan Assad. Semestinya AS bisa melakukan hal yang sama kepada Suriah,” kata Siti.
“Pertanyaan berikutnya adalah apakah serangan kimia itu benar dilakukan rezim Assad? Karena itu, perlu penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan serangan senjata kimia ini. Seharusnya DK PBB cepat membicarakan masalah ini.”
Selain melakukan penyelidikan dugaan penggunaan senjata kimia, Siti juga mengatakan, PBB perlu meninjau legalitas aksi militer AS ke Suriah.
Sebab, serangan Washington ke Homs pada Jumat dini hari itu juga disebut ilegal. Pasalnya, sejumlah anggota parlemen AS menganggap tindakan unilateral Presiden Donald Trump itu dilakukan tanpa otorisasi Kongres.
Serangan Suriah Hanya Manuver Politik ASSementara itu, Siswanto, seorang peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan serangan ke pangkalan militer Homs ini hanya semata-mata bentuk peringatan Washington kepada Suriah dan sekutu terdekatnya, Rusia.
Siswanto memaparkan, langkah Trump ini dilakukan untuk menegaskan bahwa Amerika masih memiliki pengaruh di Timur Tengah, khususnya dalam konflik Suriah.
“Aksi militer Trump ini hanya semacam langkah untuk mempertahankan kredibilitas AS di antara para sekutunya yang menekan Washington untuk bertindak merespons tindakan Assad,” ujar Siswanto.
“Aksi AS ini juga lagi-lagi hanya manuver politik untuk berikan peringatan ke Suriah dan Rusia, untuk jangan lagi pakai senjata kimia,” katanya menambahkan.
Menurutnya, aksi militer Washington ke AS pun tak akan berlanjut, apalagi hingga memicu perang. Sebab, lanjut Siswanto, AS tidak memiliki banyak kepentingan di Suriah sampai harus menggencarkan perang di negara itu.
“Menurut kalkulasi saya, aksi militer AS di Suriah tidak akan berlanjut, apalagi hingga menggulingkan Assad. Itu terlalu jauh. Sebab, dengan kebijakan Trump yang
inward looking, AS tidak punya kepentingan di Suriah. Ini hanya sebatas pengaruh politik saja,” tutur ahli politik AS itu.