Jakarta, CNN Indonesia -- Human Rights Watch (HRW) menganggap Arab Saudi telah membiarkan ulamanya menggunakan buku sekolah hingga media sosial untuk melakukan praktik ujaran kebencian terhadap minoritas Syiah.
Organisasi berbasis di New York itu menuturkan para ulama Saudi, termasuk yang memegang jabatan resmi, "telah menggunakan secara paksa'" media sosial seperti Twitter untuk memicu intoleransi di antara jutaan pengikutnya.
"Sering kali kata-kata yang digunakan para ulama Saudi tersebut mendekati ujaran kebencian atau diskriminasi," kata organisasi itu, Selasa (26/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan bersifat penghinaan terhadap kaum Syiah, tutur kelompok itu, bahkan kerap ditemukan pada dekrit-dekrit agama yang telah disetujui pemerintah Saudi dan tak jarang berakhir dikutip dalam buku sekolah anak-anak.
Sebagai contoh, HRW mengutip salah satu tulisan eks anggota dewan Syura pemerintah, Al-Sharif Hatem bin Aref al-Awni, yang diunggah dalam laman Facebook, berisikan pujian terhadap pengeboman ISIS ke sebuah masjid Syiah di Qatif pada 2015 lalu.
Tak lama, Al-Sharif menghapus postingan tersebut tanpa penjelasan.
"Sikap anti-Syiah sudah muncul dari jajaran atas [pejabat/pemerintahan]," kata HRW.
Selain itu, HRW menyebutkan, pada September 2016 lalu, mufti agung--otoritas keagaman tertinggi Saudi--sempat diwawancarai surat kabar Okaz dan mengatakan bahwa "Iran bukan lah Muslim".
HRW mengatakan sikap atau ujaran kebencian seperti ini sangat berbahaya jika dibiarkan bahkan dipelihara.
Lembaga itu mengatakan ujaran kebencian terhadap Syiah memiliki "konsekuensi fatal", sebab bisa menjadi salah satu pembenaran bagi kelompok ekstremis dan teroris seperti ISIS hingga Al-Qaidah untuk meluncurkan serangannya terhadap kaum tersebut di seluruh wilayah.
"Pejabat Saudi memang segera mengecam serangan [masjid di Qatif] namun tidak bertindak apa-apa untuk membasmi praktik ujaran kebecian tersebut yang mendukung penyerangan itu," kata HRW seperti dikutip
AFP.
Riyadh bahkan beberapa kali sempat menghukum pihak-pihak yang berupaya menyatukan aliran Sunni dan Syiah.
Negara yang memberlakukan syariat Islam dan bisa menghukum mati pelaku penista agama ini juga pernah menutup sebuah komite yangberupaya menyatukan kalender Islam Sunni dan Syiah.