Jakarta, CNN Indonesia -- Paus Fransiskus menyerukan pemerintah Myanmar untuk secara serius menangani krisis kemanusiaan di Rakhine. Salah satunya, dengan membantu Bangladesh menangani ratusan ribu pengungsi yang terus berdatangan ke perbatasan negara itu.
Meski begitu, Fransiskus tetap menghindari penyebutan Rohingya dalam pidatonya dihadapan Presiden Bangladesh Abdul Hamid di Dhaka pada Kamis (30/11) itu. Padahal, Rohingya merupakan salah satu etnis minoritas di Myanmar yang paling terdampak krisis kemanusiaan selama ini.
"Tidak boleh ada satu pun dari kita yang boleh gagal menyadari situasi ini yang melibatkan penderitaan saudara kita yang hidup dalam kondisi genting di kamp pengungsi dan sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak," kata Fransiskus di Istana Kepresidenan Bangladesh, dikutip dari Reuters, Jumat (1/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut, penting bahwa komunitas internasional mengambil langkah tegas untuk menangani krisis yang mengakar ini. Tidak hanya dalam hal menyelesaikan isu politik yang telah memicu gelombang pengungsi, tapi juga turut memberikan bantuan materi kepada Bangladesh yang selama ini merespons kebutuhan mendesak para pengungsi di sana.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Presiden Abdul Hamid berulang kali menyebut, etnis Rohingya dalam pidatonya. Hamid bahkan menuduh militer Myanmar telah melakukan kejahatan "yang sangat kejam" dalam pernyataannya tersebut.
Seperti dilansir Reuters, Hamid pun meminta Myanmar menjamin proses repatriasi para pengungsi yang telah disepakati kedua negara itu agar berjalan "dengan aman, berkelanjutan, dan bermartabat.
Lebih lanjut, sebelum berkunjung ke Dhaka, Fransiskus lebih dulu bertandang ke Myanmar dan bertemu sejumlah pejabat pemerintah seperti Panglima Militer Min Aung Hlaing.
Hindari Kata RohingyaFransiskus juga tidak menyebut kata Rohingya sama sekali selama tiga hari lawatannya di Myanmar itu. Padahal, sejak krisis kembali memburuk Fransiskus beberapa kali pernah menyebut etnis Rohingya dalam ceramahnya di Vatikan, Roma.
Myanmar kembali menjadi sorotan dunia internasional setelah krisis kemanusiaan di Rakhine kembali memburuk pada akhir Agustus lalu yang dipicu bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer.
Sejak bentrokan pecah pada 25 Agustus, kekerasan dan penyiksaan yang mengincar etnis Rohingya dilaporkan semakin meningkat hingga memicu eksodus ratusan ribu Rohingya ke negara perbatasan seperti Bangladesh.
Puluhan desa Rohingya dibakar habis, dan para pengungsi menyebut telah terjadi pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan aparat di Rakhine terutama militer dan polisi. Sama seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat pada pekan lalu telah menganggap operasi militer di Rakhine yang melibatkan "kejahatan mengerikan" sebagai upaya "pembersihan etnis."
Meski begitu, Militer Myanmar sampai saat ini berkeras menampik semua tudingan pelanggaran HAM tersebut. Pemerintahan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, pun masih enggan memberi akses PBB untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di negaranya itu.
(agi)