Jakarta, CNN Indonesia -- Kalangan pengamat menilai langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel merupakan upaya mantan pengusaha real estate itu mengamankan suara pada pemilihan presiden AS 2020 mendatang.
"Ini bisa jadi spekulasi dimana Trump berupaya meraup suara kaum pro-Zionis untuk mendukungnya," kata peneliti senior politik di Timur Tengah, Hamdan Basyar dalam Seminar "Konstelasi Kepemimpinan Baru di Timur Tengah", yang digelar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Senin (11/12).
Hamdan mengatakan besarnya pengaruh kaum Yahudi di Amerika Serikat dinilai akan mampu membantu Trump membidik dua periode masa jabatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karena itu, menurut Hamdan, Trump lebih memilih untuk mengakomodir kepentingan Israel yang selama ini berkeras mengklaim Yerusalem sebagai ibu kotanya lewat undang-undang yang disahkan Kongres tahun 1995.
“Dia mendasari langkahnya itu dengan keputusan Kongres 1995 yang memang telah memerintahkan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun selama ini, presiden AS sebelum Trump selalu menangguhkannya demi menghindari dampak negatif yang lebih besar,” kata Hamdan.
“Pengaruh kaum Yahudi di AS sangat kuat di bidang finansial, politik, hingga media massa. Dia (Trump) tidak mau mengulangi kesalahan Presiden Bush senior yang hanya terpilih sekali karena sempat mengecam Israel,” kata Hamdan.
Selain mengamankan pilpres, Hamdan mengatakan Trump mendasari keputusannya yang memicu protes dan kecaman di berbagai belahan dunia itu dengan harapan bisa memperbaiki kredibilitasnya di dalam negeri dengan menepati janji kampanye dalam Pilpres 2016.
Pada kampanye Pilpres 2016 yang dimenangkannya itu, Trump berulang kali berjanji untuk mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Setelah dirundung sejumlah skandal dan kontroversi, seperti dugaan keterlibatan Rusia dalam Pilpres 2016 lalu, Trump berupaya menjadikan masalah Yerusalem sebagai pengalihan isu di negerinya sendiri.
[Gambas:Video CNN]“Sejak dilantik, Trump dihadapkan dengan sejumlah masalah dan skandal yang memeojokan dia. Dia gunakan isu Yerusalem untuk menutupi isu-isu yang pojokan dia dengan menggunakan alasan menaati Kongres,” kata Hamdan.
Sejak Trump memutuskan mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel pada pekan lalu, dunia langsung bereaksi. Negara Arab hingga sejumlah sekutu utama AS seperti Perancis, Inggris, dan Jerman, mengecam langkah Trump yang dianggap dapat merusak stabilitas di Timur Tengah itu.
Keputusan Washington tersebut bahkan dianggap sejumlah pihak melanggar resolusi internasional terutama Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) No.242 tahun 1967 terkait status Yerusalem, yang di mana AS menjadi salah satu pendukung dicetuskannya resolusi itu.
Resolusi DK PBB nomor 242 memerintahkan Israel untuk mundur dari wilayah yang dicaploknya seusai Perang Enam Hari pada 1967, dan itu termasuk Yerusalem Timur. DK PBB juga mengeluarkan resolusi yang mengecam klaim sepihak Israel atas Yerusalem sebagai ibu kotanya, dan menyatakan hal tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional.
(nat)