Jakarta, CNN Indonesia -- Kim Hyon Hui ingat betul tugas pertama dan terakhirnya sebagai agen rahasia Korea Utara, titah langsung dari Kim Jong-il, putra kandung sang pemimpin tertinggi negara, Kim Il Sung.
Kala itu, 29 November 1987, jantungnya berdegup kencang. Dia berhasil meledakkan bom yang diselinapkan ke dalam pesawat Korean Air Lines Penerbangan 858, menewaskan 115 orang.
Hanya satu tujuan Korut, yaitu mencoreng citra Korsel yang ingin menunjukkan kemajuan mereka melalui penyelenggaraan Olimpiade 1988.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misinya adalah menggagalkan Olimpiade Seoul 1988," ujar Kim kepada
CNN.
Kini, tiga dekade setelahnya, Kim kembali teringat dengan misinya, setelah mendengar kabar mengenai kemungkinan perbaikan hubungan antara Korut dan Korsel melalui ajang Olimpiade Musim Dingin yang akan digelar pada 8 Februari mendatang di Pyeongchang.
Kim gelisah. Ia mengingatkan Korsel bahwa Korut belum berubah.
"Mereka menggunakan Korea Selatan untuk mengatasi kesulitan mereka, mencapai tujuan mereka untuk mengeksekusi rakyat, kerabat, dan keluarganya sendiri. Jangan tertipu. Korea Utara belum berubah sama sekali," tutur Kim.
Menurut Kim, Korut sangat berhati-hati dalam menyusun strategi. Dia saja sudah dipersiapkan sejak lama sebelum diutus untuk mengeksekusi rencana pengeboman pesawat tersebut.
Kim bercerita, dia pertama kali direkrut menjadi agen ketika masih duduk di bangku universitas. Saat itu, usianya masih 18 tahun.
Dia kemudian dibawa ke kamp pelatihan rahasia di tengah gunung terpencil. Selama setahun, Kim belajar seni bela diri, menembak, komunikasi radio, dan strategi bertahan hidup di alam liar.
 Kim bertemu Shigeo Iizuka, salah satu kerabat Yaeko Taguchi, orang yang mengajarkan dia bahasa Jepang sebelum menjalankan aksinya. (Reuters/Kim Kyung-Hoon) |
Tak hanya itu, Kim juga belajar bahasa Jepang dari Yaeko Taguchi, seorang perempuan Jepang yang mengaku diculik oleh agen Korut. Dua tahun tinggal bersama Yaeko, Kim kemudian dikirim ke Guangzhou, China, untuk menyerap bahasa Mandarin.
Pada November 1987, dia dipanggil kembali ke Pyongyang. Badan mata-mata Korut menyatakan Kim siap untuk misi mematikan pertamanya.
Kehidupan berubah cepat. Setelah itu, Kim dan seorang rekan laki-lakinya, Kim Seung Il, diperintahkan pergi ke ibu kota Austria, Wina, dan menyamar sebagai sepasang kekasih dari Jepang. Di sanalah mereka menerima bom itu.
"Bom itu berbentuk radio Panasonic kecil, di baliknya ada baterai. Korut merangkainya, setengah dari benda itu sebenarnya bahan peledak dengan bahan kimia di dalamnya, sementara setengahnya lagi dapat berfungsi layaknya radio biasa," papar Kim.
 Ilustrasi Korean Air Lines. (Kyodo/via Reuters) |
Mereka membawa bom itu ke Baghdad. Ketika mereka menaiki pesawat Korean Air Lines Penerbangan 858 tujuan Seoul, petugas menyita baterai di dalam radio itu, menjadikan bom yang sudah dipersiapkan tak berfungsi.
"Saya gugup saat itu. Saya mengambil baterainya, memasukkannya kembali ke dalam radio dan mengeluh ke petugas itu. Ketika saya nyalakan radionya, terdengar suara, jadi saya mengatakan kepada mereka agar tidak usah terlalu khawatir," tutur Kim.
Tak menemukan kesalahan, sang petugas pun mengizinkan Kim masuk sambil membawa radio itu ke dalam pesawat.
"Selama beberapa saat, pikiran 'Orang-orang ini akan mati' melintas di kepala saya. Saya terkejut ketika memikirkan itu. Saya merasa sangat lemah. Saya harus melakukannya demi unifikasi," katanya.
Kim akhirnya menaruh bom itu di kabin di atas kepala dan menenggak beberapa pil agar tenang. Dia dan rekannya turun dari pesawat saat singgah di Abu Dhabi.
Pesawat yang membawa 115 orang itu kembali lepas landas menuju Seoul, tapi tak pernah tiba di tujuan. Bom itu meledak ketika pesawat sedang melintas di atas Laut Andaman.
Menurut rencana, mereka seharusnya kabur melalui Roma dan Wina. Namun, strategi itu gagal karena mereka ditahan di Bahrain. Mereka pun mengambil rencana B, yaitu meneggak pil sianida yang disembunyikan dalam filter rokok.
"Kami diajarkan bahwa jika seorang agen gagal menjalankan misinya, mereka harus bunuh diri. Kami harus menenggak pil itu untuk menutupi rahasia. Kami sangat paham bahwa keluarga kami di Korut akan disiksa, jadi kami memutuskan untuk menenggak pil itu. Saat itu, saya berpikir, hidup saya yang cuma 25 tahun ini harus berakhir seperti ini," tutur Kim.
Setelah menggigit pil itu, Kim hanya kehilangan kesadaran, tapi selamat. Sementara itu, rekan laki-lakinya tewas.
Kim akhirnya diekstradisi ke Korsel untuk interogasi. Kim terus berbohong dan menutupi misi Korut ini demi menjamin keselamatan keluarganya di tanah airnya. Namun akhirnya, dia tak kuasa menahan kebohongan.
Dia diadili dan dijatuhi hukuman mati. Namun kemudian, Kim mendapatkan pengampunan dari Presiden Roh Tae-woo, keputusan yang dikecam oleh banyak pihak.
Sebagai pembelaan, Roh mengatakan bahwa Kim juga merupakan korban kekejaman rezim Korut, sama seperti penumpang Penerbangan 858.
"Ketika saya tahu bahwa saya diampuni, saya bukannya merasakan kesenangan, tapi memikirkan ibu saya di Korut. Betapa senangnya dia mendengar kabar anaknya hampir mati, tapi hidup. Namun, saya adalah pendosa. Saya seharusnya mati," katanya.
[Gambas:Video CNN] Setelah itu, Kim bekerja di Badan Intelijen Nasional Korsel. Di sana, ia bertemu dengan tambatan hatinya, seorang pengawal yang akhirnya ia nikahi dan menjadi ayah bagi dua anaknya.
Meski sudah hidup tenang, Kim tetap ingin mengabadikan kisah kelamnya dalam sebuah buku. Hasil penjualan buku itu kemudian ia sumbangkan bagi keluarga korban pengeboman Penerbangan 858.
Dengan sesekali mengusap air matanya, Kim mengingatkan bahwa Korut masih belum berubah. Dia sangat khawatir setelah mendengar isu rujuk Korut dan Korsel melalui kehadiran delegasi Pyongyang dalam Olimpiade Musim Dingin nanti.
"Saya sebagai saksi hidup teror Korut, saya akan mengatakan kebenaran dan saya berada di garda depan untuk mencegah serangan semacam itu. Korea masih dalam status berperang jika bicara masalah ideologi dan pemikiran," katanya.