Jakarta, CNN Indonesia -- Mengawali tahun dengan kabar baik pembebasan warga negara Indonesia dari tangan kelompok Abu Sayyaf, diplomasi pemerintah pada 2018 ternyata masih terus diuji dengan drama penyanderaan dan ketiadaan notifikasi ketika WNI terpidana mati dieksekusi di Arab Saudi.
Diplomasi perlindungan WNI ini sudah digencarkan sejak awal tahun, tepatnya 3 Januari. Kala itu, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, meminta Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, untuk membantu pembebasan 5 WNI yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf dalam serentetan insiden terpisah sejak 2016.
Sekitar dua pekan kemudian, dua anak buah kapal WNI yang disekap Abu Sayyaf di selatan Filipina akhirnya bebas setelah diculik ketika sedang melaut di perairan Sabah, Malaysia, beberapa bulan sebelumnya.
Namun, masih ada tiga WNI lain yang berada dalam sekapan Abu Sayyaf. Kementerian Luar Negeri pun terus mencari bantuan berbagai pihak, termasuk dari eks milisi separatis Filipina, Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang bertandang ke Indonesia pada 1 Februari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbulan-bulan tak ada kabar, pada 11 September kembali terjadi penyanderaan dua nelayan WNI di perairan Sabah. Meski disusul dengan pembebasan tiga sandera WNI sekitar sepekan kemudian, pengulangan insiden ini membuat diplomasi Indonesia menjadi sorotan.
Direktur Institute for Policy Analyst of Conflict (IPAC), Sidney Jones, menganggap salah satu alasan utama kelompok Abu Sayyaf terus menyandera WNI adalah karena tebusan yang mereka tuntut dipenuhi.
"Walaupun Indonesia mengaku tidak bayar, mungkin uangnya tidak dari pemerintah. Kalau ada kasus seperti ini, hampir selalu ada uang, cuma mungkin uangnya bukan dari pemerintah, bisa dari perusahaan (kapal yang mempekerjakan ABK)," tutur Sydney kepada
CNNIndonesia.com.
Indikasi ini kian kuat setelah Sydney melihat pola penyanderaan kelompok militan seperti Abu Sayyaf, yang melakukan penyanderaan bukan karena ideologi ekstrem, tapi untuk mengisi pundi keuangan mereka.
"Ada satu negara Eropa, saya tidak mau sebut negara mana, mereka selalu membayar uang tebusan sehingga penculikan terhadap warga negaranya terus berulang," katanya.
Berbeda dengan Sydney, Direktur Eksekutif Yayasan Lingkar Perdamaian, Ali Fauzi Manzi, menganggap pemerintah Indonesia mungkin saja membebaskan para sandera tanpa tebusan.
Menurut Ali, salah satu alasan Abu Sayyaf rela melepas sumber pendapatannya tersebut adalah karena mereka merasa lebih dekat dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam, tak seperti Filipina, negara dengan dominasi populasi Katolik.
"Sandera WNI mungkin saja bebas tanpa tebusan karena Abu Sayyaf masih lebih ramah kepada Indonesia karena mayoritas penduduk Muslim," kata Ali yang juga merupakan adik kandung pelaku bom Bali, Amrozi dan Ali Imron.
 Salah satu WNI sandera Abu Sayyaf dipertemukan kembali dengan keluarganya setelah bebas dari sekapan. (Dok. Kemlu RI) |
Meski begitu, Ali tetap mengatakan bahwa pembebasan sandera Abu Sayyaf sangat bergantung pada kepiawaian bernegosiasi dengan kelompok tersebut.
Tak lama setelah
CNNIndonesia.com berbincang dengan Ali, salah satu WNI kemudian bebas, menyisakan seorang warga Indonesia lagi yang masih dalam sekapan Abu Sayyaf.
Secara keseluruhan, merujuk pada data Kemlu RI, ada 34 WNI disandera di Filipina Selatan sejak 2016 hingga November 2018, 33 di antaranya berhasil bebas.
Belum rampung masalah di Filipina, insiden serupa kembali terjadi pada 1 November, ketika kawanan perompak di Kongo menyandera tiga anak buah kapal WNI yang sedang melaut dengan kapal berbendera Singapura. Untuk menyelamatkan para WNI tersebut, Kemlu RI kembali berdiplomasi.
"Pemerintah dan perusahaan akan terus berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait dalam rangka penanganan masalah tersebut," ujar Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kemlu RI, Lalu Muhamad Iqbal.
Dalam direktoratnya, Iqbal tak hanya mengurus penyanderaan, tapi juga berbagai masalah lain yang menimpa WNI di luar negeri, termasuk jika ada warga tersandung kasus hukum hingga menjadi terpidana mati.
Masalah besar dari ranah tersebut mengguncang Indonesia ketika Arab Saudi mengeksekusi mati seorang WNI, Tuti Tursilawati, tanpa memberikan notifikasi terlebih dulu pada Oktober lalu, memicu amarah berbagai kalangan.
Amarah menyeruak dari berbagai penjuru Indonesia, geram karena menganggap Saudi melakukan penghinaan. Pasalnya, ini bukan kali pertama Saudi mengeksekusi mati terpidana WNI tanpa notifikasi.
Tahun 2015, Saudi mengeksekusi mati dua WNI tanpa notifikasi dalam waktu hanya berselang sehari, yaitu Siti Zaenab pada 14 April dan Karni binti Medi Tarsim tanggal 16 April.
Setelah itu, Indonesia langsung mengeluarkan pernyataan kecaman keras kepada Saudi. Meski tak ada aturan internasional yang mengharuskan Saudi memberi notifikasi, tapi Indonesia menganggap pemberitahuan tersebut sudah menjadi norma umum dalam hubungan bilateral.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menyebut langkah Saudi tersebut mencerminkan sikap tidak etis terhadap Indonesia.
Terlebih lagi, Raja Salman berjanji akan senantiasa membuka dialog tak hanya dengan pemerintah, tapi juga masyarakat Indonesia.
"Janji itu diutarakannya ketika mengunjungi Jakarta pada Maret 2017 lalu. Beliau juga menggaungkan persaudaraan Muslim, tapi di saat yang bersamaan melakukan hal yang tidak etis seperti ini kepada Indonesia," kata Teuku kepada
CNNIndonesia.com.
Indonesia pun kembali mengeluarkan kecaman hingga memanggil Duta Besar Arab Saudi untuk meminta keterangan lebih lanjut. Hingga akhirnya, Kemlu memutuskan untuk mengajak Saudi membahas satu kesepakatan yang mewajibkan kedua belah pihak memberikan notifikasi jika akan melakukan eksekusi.
Ketika isu ini mulai reda, muncul kabar bahwa Kementerian Ketenagakerjaan RI-Saudi sepakat membuat program pengiriman 30 ribu TKI baru ke Saudi.
Di saat bersamaan, pemerintahan Joko Widodo masih memberlakukan moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah yang sudah berlaku sejak 2015 lalu.
Eksekusi Tuti dan perjanjian kemenaker RI-Saudi ini menempatkan Jokowi dalam posisi dilematis yang dapat mengurangi kredibilitas sang presiden di dalam negeri.
"Karena masyarakat melihat kok beliau (Jokowi) tidak bisa mengendalikan keadaan terutama menyangkut nyawa WNI, padahal, ini semua terjadi karena pelanggaran etika Saudi yang tidak memberi notifikasi lebih dulu kepada Indonesia," ucap Teuku.
Di sisi lain, dia menganggap Jokowi tidak bisa selamanya memberlakukan moratorium dan harus segera mencari alternatif lain, seperti pengiriman TKI secara terbatas sebagai percobaan pascamoratorium.
"Dalam berdiplomasi memang harus ada
take and give. Saya pikir pengiriman 30 ribu TKI ini adalah jalan tengah. Jika puluhan ribu TKI itu tidak berangkat, apalagi di tahun politik seperti ini, ini akan membuat sulit pemerintahan Jokowi," katanya.