Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden
Afghanistan Ashraf Ghani menyatakan tidak setuju atas langkah Amerika Serikat (AS) yang menjanjikan pertukaran dan penyerahan tahanan kepada
Taliban.
Kesepakatan tersebut diperoleh AS usai melakukan pertemuan dengan Taliban, agar mereka mau bertatap muka dan memulai diskusi perjanjian dengan Afghanistan.
"Tidak ada komitmen [dari kami] untuk membebaskan 5.000 tahanan," kata Ghani dalam konferensi pers yang dikutip dari
AFP, Senin (2/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam perjanjian yang ditandatangani pada Sabtu (29/2) lalu di Doha, Qatar, kedua pihak setuju agar Afghanistan menyerahkan 5.000 tahanannya kepada Taliban mulai 10 Maret. Sebagai gantinya, Taliban akan menyerahkan 1.000 tahanannya dan membuka pintu pertemuan.
AS pun menjanjikan bakal menarik semua pasukannya selama 14 bulan, asalkan Taliban mau memenuhi janji dan membuka pembicaraan dengan Kabul.
Ghani menyatakan pembebasan tahanan yang dijanjikan seyogyanya bukan wewenang AS, melainkan wewenang pemerintah Afghanistan.
"Itu bisa dimasukkan dalam agenda diskusi internal Afghanistan. Tetapi tidak bisa menjadi prasyarat untuk diskusi [dengan Taliban]," tambahnya.
Perjanjian antara AS dan Taliban ini dinilai banyak pihak sebagai langkah awal menuju perdamaian, setelah keduanya terlibat dalam perang sejak puluhan tahun lalu.
Dalam kesepakatan tersebut dituliskan bahwa Taliban harus memberikan 'pesan yang jelas' agar pihak yang mengancam negara barat 'tidak punya tempat di Afghanistan'. Ini bisa jadi diartikan, Taliban diminta mengusir kelompok teroris seperti Al-Qaeda dan ISIS pergi dari Afghanistan.
[Gambas:Video CNN]Para pengamat pun mengkritik penolakan Ghani, menyatakan dirinya lebih mementingkan pemilihan presiden kemarin ketimbang memburu kesepakatan dengan Taliban.
Diketahui Ghani kembali terpilih pada Pilpres 2019 lalu. Namun pemilihan ini sempat menuai polemik lantaran Ghani di klaim curang dalam meraih 50,64 persen suara mayoritas.
Penantangnya, Abdullah Abdullah menolak hasil tersebut. Dan berjanji bakal membentuk pemerintahan oposisi baru.
"Tantangan terbesar saat ini adalah kurangnya kesiapan pemerintah Afghanistan untuk bernegosiasi. Meskipun mereka tahun selama beberapa tahun ini akan terjadi, dan bahwa ini akan menjadi parameter dari kesepakatan," ujar pengamat dari Brookings Institution, Vanda Felbab-Brob.
Ia menyatakan perjanjian ini bisa jadi menguntungkan Afghanistan jika diakhir pertukaran tahanan keduanya mencapai kesepakatan. Namun masyarakat Afghanistan khawatir akhir dari perjanjian ini bakal mengantar Taliban kembali berkuasa di wilayah mereka.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Direktur Program Asia Crisis Group, Laurel Miller. Ia mengatakan perjanjian ini bisa jadi langkah awal perdamaian di Afghanistan.
"[Namun] Apakah itu benar-benar melekat dan apakah bisa menghasilkan perdamaian yang sebenarnya di Afghanistan, masih harus dilihat," ujarnya.
Kesepakatan politik sendiri cukup sulit dilakukan di Afghanistan, mengingat negara tersebut masih terbelah. Perang saudara antar suku dan etnis etnis, hingga para pejabat dan panglima perang masih kerap ditemukan. Hingga perjanjian bersama AS didapati, Taliban pun masih menolak bernegosiasi dengan pemerintahan Ghani.
Sebelumnya gencatan senjata sebagian sudah mulai dilakukan di Afghanistan dan masih berlangsung hingga sekarang. Langkah yang kerap disebut "pengurangan kekerasan" ini membuat banyak warga Afghanistan yang selama ini hidup dalam ketakutan lega.
Setidaknya belasan tentara Taliban berdatangan ke ibu kota Provinsi Nangarhar timur, Jalalabad untuk menyerahkan senjata mereka kepada pihak berwenang.
"Kami datang ke sini untuk bergabung dengan proses perdamaian dan rekonsiliasi pemerintah," ujar Taliban Atiqullah Jan, salah satu tentara Taliban.
(fey/evn)