Di sisi lain, penduduk membantah klaim pemerintah. Menurut seorang penduduk bernama samaran Kyaw Naing, sembilan anggota keluarganya positif Covid-19 dan sampai saat ini tidak bisa dirawat di rumah sakit.
"Kami melihat pengumuman mereka (tentara) akan berhenti memberikan pasokan oksigen kepada penduduk, dengan alasan oksigen itu ditimbun oleh rumah sakit swasta. Di sisi lain, mereka mengatakan oksigen medis itu untuk kebutuhan rakyat dan rumah sakit umum. Namun, di saat bersamaan pasien Covid-19 justru tidak diterima di rumah sakit umum," kata Kyaw Naing.
Banyak dari dokter dan perawat diperintahkan untuk bekerja di rumah sakit pemerintah. Namun, para tenaga kesehatan serba salah dan was-was akan keselamatan mereka, terutama dengan ancaman diserang di tengah jalan atau dituduh sebagai antek-antek junta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada sekitar 240 kasus serangan terhadap fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Pekan lalu, ada sekitar 500 surat perintah penahanan bagi para dokter dan perawat. Kita tidak bisa melawan Covid-19 dan menyerang tenaga kesehatan secara bersamaan," kata Pelapor Khusus Bidang Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Myanmar, Tom Andrews.
Para dokter dan perawat yang menolak bekerja di rumah sakit pemerintah lantas praktik secara sembunyi-sembunyi. Mereka mendirikan jejaring fasilitas kesehatan tersembunyi untuk menangani kasus Covid-19 di tengah masyarakat Myanmar, ketimbang diringkus aparat junta.
"Kami mengobati sekitar 150 pasien setiap hari. Lebih dari setengahnya mengalami demam, tidak bisa mencium bau (anosmia) dan mengalami gejala lain Covid-19. Setengah dari pasien kami dalam kondisi akut," kata seorang dokter Myanmar yang enggan menyebutkan identitasnya dan ikut mendirikan klinik rahasia itu.
Dokter itu mengatakan sebelum kudeta dia dan rekan-rekannya dalam jasa kedokteran jarak jauh EZ Care bisa menangani sekitar seribu pasien.
"Kemarin dua pasien saya meninggal saat kami sedang melakukan konsultasi karena kekurangan oksigen. Tanpa oksigen kami tidak berdaya," ujar dokter itu.
Seorang dokter perempuan di Myanmar yang juga enggan diungkap identitasnya menyatakan dia merasa sangat sedih melihat pasiennya meninggal di depan mata saat dia melakukan kunjungan.
"Saya melihat salah satu pasien di rumah dan menyedihkan melihat dia kesulitan bernapas. Dia seperti sedang tenggelam. Dia tidak cukup mendapatkan pasokan oksigen ke paru-paru dan darah. Setelah kunjungan itu saya menerima telepon dan ternyata pasien saya meninggal," kata dokter perempuan itu.
Seorang dokter lain mengatakan penduduk Myanmar panik bukan main karena mereka kesulitan mencari obat-obatan. Alhasil, banyak dari penduduk yang kalap dan tertipu karena ulah pedagang nakal yang mengklaim obat itu manjur buat pasien Covid-19.
(ayp/ayp)