Jakarta, CNN Indonesia --
Hampir dua dekade lamanya militer Amerika Serikat bercokol di Afghanistan. Ribuan tentara AS dikerahkan membantu dan melatih pasukan bersenjata Afghanistan melawan gempuran pemberontak, terutama Taliban.
Selama hampir dua dekade pula AS meyakinkan publik bahwa kehadirannya di Afganistan berhasil mengasah kemampuan bertarung dan strategi angkatan bersenjata negara itu menjadi lebih baik.
Tak tanggung, AS dibantu Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah menghabiskan miliaran dolar demi melatih dan memasok senjata untuk militer dan kepolisian Afghanistan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data Kementerian Luar Negeri AS yang dikutip Eurasia Review, militer AS setidaknya menghabiskan US$778 miliar selama menginvasi Afghanistan sejak Oktober 2001-September 2019.
Namun, hasil tampaknya tak sejalan dengan biaya dan sumber daya yang dikeluarkan AS dan negara sekutu untuk Afghanistan selama ini.
Sejak AS dan NATO resmi menarik pasukannya di Afghanistan pada Mei lalu, tentara pemerintahan Presiden Ashraf Ghani mulai kelimpungan menghadapi Taliban yang berupaya berkuasa lagi.
Taliban justru mulai kembali menunjukkan taringnya dengan menggempur pasukan pemerintah Afghanistan sejak pasukan AS dan NATO bertahap keluar dari negara itu. Tentara Afghanistan di sejumlah titik bahkan kabur tanpa perlawanan ketika Taliban menyerang.
Pada akhir Juli lalu, Taliban mengklaim telah menguasai 90 persen perbatasan negara tersebut. Dalam sepekan terakhir, kelompok itu membuat pasukan Afghanistan keok dengan berhasil menduduki 10 ibu kota provinsi di negara itu.
Kemenangan Taliban pun membuat pemerintah Afghanistan kian tersudut. The New York Times melaporkan, ratusan tentara menyerah, sejumlah besar senjata dan peralatan militer pun melayang.
Sejumlah analis menganggap ketidaksiapan tentara Afghanistan ini merupakan bukti bahwa AS gagal melatih pasukan negara tersebut. Afghanistan sampai-sampai harus merekrut milisi-milisi bersenjata rakyat untuk membantu.
"Pasukan Afghanistan masa kini terbiasa bertempur bersama pasukan Amerika dan NATO yang lebih kuat, yang sudah membantu mereka secara aktif sejak 2001," tulis analis dari Observer Research Foundation, Saaransh Mishra, dalam tulisannya di Eurasia Review.
Di sisi lain, militer AS terlihat tak lagi agresif membantu pasukan Afghanistan sejak pasukannya meninggalkan negara itu.
Sejauh ini, pasukan AS yang tersisa di Afghanistan hanya melakukan beberapa kali serangan terhadap Taliban melalui serangan udara. Upaya AS itu pun dirasa tak cukup membantu memukul mundur Taliban.
Berbicara di Gedung Putih pada Selasa (10/8), Presiden AS Joe Biden mengaku tak menyesal dengan keputusannya menarik pasukan AS keluar dari Afghanistan.
[Gambas:Video CNN]
Ia pun menegaskan komitmen AS yang akan terus memberikan dukungan bagi Afghanistan, mulai dari bantuan pertahanan udara, membayar gaji pasukan bersenjatanya, hingga memasok senjata dan kebutuhan militer tentara Afghanistan lainnya.
"Kami telah menghabiskan lebih dari satu triliun dolar selama dua puluh tahun. Kami melatih dan melengkapi peralatan modern lebih dari 300 ribu pasukan," kata Biden, seperti dikutip CNBC.
Ia kemudian berkata, "Para pemimpin Afghanistan harus bersatu. Mereka harus berjuang untuk diri mereka sendiri, berjuang untuk bangsa mereka."
Tentara Afghanistan Korup hingga Tak Kompeten
Selama ini, pejabat AS terus meyakinkan publik bahwa kehadirannya di Afghanistan berbuah manis. Di awal invasi berlangsung, AS di depan publik bahkan berbual dengan memuji-muji pasukan Afghanistan yang baru mereka latih sebagai "kekuatan multi-etnis yang sangat profesional, yang dengan cepat menjadi pilar keamanan negara."
Pada 2014, jenderal Angkatan Laut AS saat itu, John Allen, menganggap pasukan Afghanistan lebih baik dari yang ia kira selama ini.
Namun, kenyataan di lapangan disebut jauh berbeda. Dalam memo internal pemerintahan AS, para pejabat dan militer mengaku khawatir lantaran menemukan bahwa banyak dari pasukan Afghanistan yang masih buta huruf dan tidak terlatih.
Beberapa pihak pun menilai AS selama ini hanya membuang waktu dan uang di Afghanistan. Pasalnya, pasukan Afghanistan merupakan salah satu angkatan bersenjata yang sangat tidak kompeten, dan korup. Banyak pula di antara mereka yang berkhianat.
Dalam laporan The Washington Post berjudul Unguarded Nation pada 2019 lalu, beberapa pejabat AS, NATO, hingga Afghanistan sendiri menggambarkan upaya mereka memperkuat pasukan negara Asia Selatan tersebut selama ini hanya sebagai malapetaka berkepanjangan.
Mereka menggambarkan pasukan keamanan Afghanistan itu tidak kompeten, tidak termotivasi, kurang terlatih, korup, dan penuh dengan pembelot hingga penyusup.
Dalam satu wawancara, seorang pejabat Angkatan Laut AS, Thomas Johnson, mengatakan bahwa warga Afghanistan memandang kepolisian sebagai bandit pemangsa dan "lembaga paling dibenci" di negara tersebut.
Mantan Duta Besar AS di Kabul, Ryan Crocker, mengatakan kepolisian Afghanistan bukan lah kekurangan senjata atau pasukan, tapi mereka tidak berguna dan korup sampai ke tingkat petugas biasa.
[Gambas:Photo CNN]
Selain itu, korupsi juga mengakar dalam pasukan keamanan Afghanistan. Di atas kertas, Afghanistan mendata bahwa mereka memiliki sedikitnya 352 ribu pasukan bersenjata, terdiri dari militer dan polisi yang siap tempur.
Namun, pemerintah Afghanistan hanya dapat membuktikan bahwa ada 254 ribu pasukan yang aktif saat ini.
Selama bertahun-tahun, para komandan militer Afghanistan disebut menggelembungkan jumlah pasukan demi mendapat uang lebih dari AS yang selama ini membayar gaji para personel.
Akibatnya, saat ini AS meminta Afghanistan menggunakan data biometrik dengan sidik jari dan pemindaian wajah untuk mencairkan gaji para pasukannya.
[Gambas:Video CNN]
Selain menggelembungkan data personel fiktif, Afghanistan juga disebut kerap memalsukan data jumlah tentara yang gugur selama berperang selama ini dengan Taliban.
Dalam wawancara dengan The Washington Post itu, beberapa pejabat AS dan NATO yang terlibat misi di Afghanistan dan dirahasiakan identitasnya bahkan menyalahkan diri mereka sendiri atas kegagalan di Afghanistan.
Mereka mengaku lambat dalam melatih tentara Afghanistan di awal-awal invasi AS, padahal saat itu, ancaman Taliban masih tidak terlalu signifikan.
Tentara penasihat Gedung Putih soal Afghanistan di masa kepemimpinan George W Bush dan Barack Obama, Douglas Lute, mengatakan bahwa AS seharusnya menggembleng pasukan Afghanistan di masa awal, antara 2002 dan 2006.
"[Kami harusnya melatih mereka] saat Taliban masih lemah dan tak teratur. Semuanya mungkin akan berbeda. Namun, kami malah konsentrasi di Irak. Jika kami mengucurkan uang lebih bijak dan cepat, hasilnya mungkin akan berbeda," kata Lute.