Selama ini, pejabat AS terus meyakinkan publik bahwa kehadirannya di Afghanistan berbuah manis. Di awal invasi berlangsung, AS di depan publik bahkan berbual dengan memuji-muji pasukan Afghanistan yang baru mereka latih sebagai "kekuatan multi-etnis yang sangat profesional, yang dengan cepat menjadi pilar keamanan negara."
Pada 2014, jenderal Angkatan Laut AS saat itu, John Allen, menganggap pasukan Afghanistan lebih baik dari yang ia kira selama ini.
Namun, kenyataan di lapangan disebut jauh berbeda. Dalam memo internal pemerintahan AS, para pejabat dan militer mengaku khawatir lantaran menemukan bahwa banyak dari pasukan Afghanistan yang masih buta huruf dan tidak terlatih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa pihak pun menilai AS selama ini hanya membuang waktu dan uang di Afghanistan. Pasalnya, pasukan Afghanistan merupakan salah satu angkatan bersenjata yang sangat tidak kompeten, dan korup. Banyak pula di antara mereka yang berkhianat.
Dalam laporan The Washington Post berjudul Unguarded Nation pada 2019 lalu, beberapa pejabat AS, NATO, hingga Afghanistan sendiri menggambarkan upaya mereka memperkuat pasukan negara Asia Selatan tersebut selama ini hanya sebagai malapetaka berkepanjangan.
Mereka menggambarkan pasukan keamanan Afghanistan itu tidak kompeten, tidak termotivasi, kurang terlatih, korup, dan penuh dengan pembelot hingga penyusup.
Dalam satu wawancara, seorang pejabat Angkatan Laut AS, Thomas Johnson, mengatakan bahwa warga Afghanistan memandang kepolisian sebagai bandit pemangsa dan "lembaga paling dibenci" di negara tersebut.
Mantan Duta Besar AS di Kabul, Ryan Crocker, mengatakan kepolisian Afghanistan bukan lah kekurangan senjata atau pasukan, tapi mereka tidak berguna dan korup sampai ke tingkat petugas biasa.
Selain itu, korupsi juga mengakar dalam pasukan keamanan Afghanistan. Di atas kertas, Afghanistan mendata bahwa mereka memiliki sedikitnya 352 ribu pasukan bersenjata, terdiri dari militer dan polisi yang siap tempur.
Namun, pemerintah Afghanistan hanya dapat membuktikan bahwa ada 254 ribu pasukan yang aktif saat ini.
Selama bertahun-tahun, para komandan militer Afghanistan disebut menggelembungkan jumlah pasukan demi mendapat uang lebih dari AS yang selama ini membayar gaji para personel.
Akibatnya, saat ini AS meminta Afghanistan menggunakan data biometrik dengan sidik jari dan pemindaian wajah untuk mencairkan gaji para pasukannya.
Selain menggelembungkan data personel fiktif, Afghanistan juga disebut kerap memalsukan data jumlah tentara yang gugur selama berperang selama ini dengan Taliban.
Dalam wawancara dengan The Washington Post itu, beberapa pejabat AS dan NATO yang terlibat misi di Afghanistan dan dirahasiakan identitasnya bahkan menyalahkan diri mereka sendiri atas kegagalan di Afghanistan.
Mereka mengaku lambat dalam melatih tentara Afghanistan di awal-awal invasi AS, padahal saat itu, ancaman Taliban masih tidak terlalu signifikan.
Tentara penasihat Gedung Putih soal Afghanistan di masa kepemimpinan George W Bush dan Barack Obama, Douglas Lute, mengatakan bahwa AS seharusnya menggembleng pasukan Afghanistan di masa awal, antara 2002 dan 2006.
"[Kami harusnya melatih mereka] saat Taliban masih lemah dan tak teratur. Semuanya mungkin akan berbeda. Namun, kami malah konsentrasi di Irak. Jika kami mengucurkan uang lebih bijak dan cepat, hasilnya mungkin akan berbeda," kata Lute.
(rds/has)