Jakarta, CNN Indonesia --
Kawasan di Indo-Pasifik semakin memanas usai kesepakatan trilateral antara Amerika Serikat, Inggris dan Australia (AUKUS). Di bawah perjanjian itu, Canberra akan membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir.
Rencana tersebut diyakini untuk mengimbangi China, selaku negara yang ingin menguasai Indo-Pasifik. Beijing pun meradang akan kesepakatan itu.
Sementara Indonesia adalah negara non-blok, yang secara geopolitik ada di tengah Indo-Pasifik sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemandu, Wilayah RI kemungkinan akan terdampak jika rencana tersebut terealisasi.
"Dampaknya jelas, stabilitas kawasan terganggu. Perairan Indonesia akan dilintasi kapal selam bertenaga nuklir. Dan karenanya, Indonesia harus awasi lebih ketat wilayah lautnya," jelas Aleksius saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa, (21/9).
Aleksius mengatakan akan ada siklus lomba senjata untuk mengantisipasi gerak lawan. Sementara negara-negara kawasan akan kesulitan menjaga kesolidan ASEAN.
"Indonesia harus tampil sebagai pemimpin tradisional ASEAN," katanya.
Aleksius mengatakan, Indonesia harus sesegera mungkin menyerukan sikap kolektif ASEAN sebelum blok ini dipecah oleh negara-negara besar.
"ASEAN semakin relevan dengan komitmennya agar wilayah Asia Tenggara bebas dari senjata nuklir," katanya.
Indonesia, sambung Aleksius, tak bisa menghadapi sendiri perseteruan antara AUKUS dan China di kawasan Asia-Pasifik.
"Harus ada sikap kolektif 10 negara ASEAN. Perlombaan senjata apalagi nuklir, bertentangan dengan kepentingan dan survival Indonesia dan ASEAN," katanya.
Oleh karena itu, harus dilawan dengan narasi perlawanan mengenai pentingnya stabilitas regional untuk pemulihan ekonomi dari krisis akibat Covid-19.
Hal lain yang perlu dilakukan Indonesia yakni terus mengkampanyekan upaya hukum internasional kepada negara ratifikasi Perjanjian Non-proliferasi Nuklir (TPN).
"Agar semakin banyak negara ratifikasi TPN, sebagai upaya hukum internasional, untuk mengkriminalisasi senjata nuklir secara internasional," lanjut Aleksius.
Baca ulasan lebih lanjut di halaman berikutnya...
Tak berbeda, Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyoroti keberatan RI soal pembuatan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia karena berpotensi melanggar Perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT).
NPT adalah perjanjian internasional yang melarang penyebaran pengetahuan nuklir, dan nuklir, dari negara yang memiliki kepada yang tidak memiliki sumber energi tersebut.
Rencana itu, kata Hikmahanto, juga dapat mengancam perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Indo Pasifik. Sebab, China tentu tidak akan berdiam diri dengan perkembangan geopolitik ini.
"Bila terjadi perang terbuka, dapat dipastikan penggunaan senjata nuklir di kawasan akan tidak dapat dihindari," ucapnya.
Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa upaya yang bisa ditempuh Indonesia.
Pandangan ASEAN di Indo-Pacific untuk menyerukan kerja sama yang terbuka dan inklusif akan digunakan Indonesia sebagai standar normatif kebijakan luar negeri.
Langkah lain yang bisa ditempuh yakni, menurut Hikmahanto, Indonesia mendekatkan diri ke China karena negara tersebut sebagai pesaing AS yang menentang rencana pembuatan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia.
"Indonesia dalam isu ini memiliki garis kebijakan yang sama dengan China," ucap Hikmahanto.
Hal itu diharapkan memicu kekhawatiran AS, bila Indonesia akan bersekutu dengan China. Dengan demikian, cara itu diyakini dapat menghentikan rencana pembangunan itu.
"Langkah terakhir adalah Indonesia mendekati Prancis yang menentang keras rencana AS Inggris dan Australia tersebut," lanjutnya.
Indonesia dapat mendorong agar Prancis membawa isu ini dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Posisi RI
Posisi Indonesia mengenai potensi kegaduhan AUKUS-China juga disoroti oleh Aleksius. Ia menilai, RI akan merapat ke Beijing meski tak ditunjukkan secara gamblang.
"Tampaknya seperti itu (merapat ke China) meskipun Indonesia tidak mengatakannya secara eksplisit," tutur Aleksius.
Indonesia, sejauh ini, memang menganut politik bebas aktif. Hanya saja, hemat Hikmahanto, RI tak leluasa bersikap tegas terhadap negara-negara besar seperti kepada China, AS, Inggris, atau Australia.
"Ada keengganan yang bisa dimaklumi tapi pemerintah harus tetap mandiri dalam bersikap agar martabat dan kredibilitas politik luar negeri tetap terjaga," kata Aleksius.
Kredibilitas politik luar negeri RI semakin dipengaruhi oleh pragmatisme pemerintah untuk segera pulih dari krisis selama pandemik Covid-19.
"Misalnya, Indonesia tidak ingin mengorbankan kerja sama ekonomi yang mendalam dan pada titik point of no return dengan Tiongkok (China)."
Dengan demikian, AS akan menganggap Indonesia semakin dekat dengan China atau tak mau bersikap tegas dengan China.
Tak hanya RI, menurut Aleksius, hampir seluruh negara ASEAN bersikap seperti itu karena kerja sama di bidang ekonomi dengan China yang menggiurkan.
"Janji ekonomi dari China begitu menggoda dan akan kehilangan momentum jika dibiarkan," kata Aleksius.
Meski demikian, Indonesia tetap harus menjaga garis batas netralitas sebagai negara dengan geopolitik amat strategis di Indo-Pasifik.
RI pun harus berhati-hati sambil menegaskan posisi netralnya dan menyerukan semua pihak menahan diri.