Tak berbeda, Guru Besar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyoroti keberatan RI soal pembuatan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia karena berpotensi melanggar Perjanjian non-proliferasi nuklir (NPT).
NPT adalah perjanjian internasional yang melarang penyebaran pengetahuan nuklir, dan nuklir, dari negara yang memiliki kepada yang tidak memiliki sumber energi tersebut.
Rencana itu, kata Hikmahanto, juga dapat mengancam perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Indo Pasifik. Sebab, China tentu tidak akan berdiam diri dengan perkembangan geopolitik ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bila terjadi perang terbuka, dapat dipastikan penggunaan senjata nuklir di kawasan akan tidak dapat dihindari," ucapnya.
Untuk menghindari hal tersebut, ada beberapa upaya yang bisa ditempuh Indonesia.
Pandangan ASEAN di Indo-Pacific untuk menyerukan kerja sama yang terbuka dan inklusif akan digunakan Indonesia sebagai standar normatif kebijakan luar negeri.
Langkah lain yang bisa ditempuh yakni, menurut Hikmahanto, Indonesia mendekatkan diri ke China karena negara tersebut sebagai pesaing AS yang menentang rencana pembuatan kapal selam bertenaga nuklir oleh Australia.
"Indonesia dalam isu ini memiliki garis kebijakan yang sama dengan China," ucap Hikmahanto.
Hal itu diharapkan memicu kekhawatiran AS, bila Indonesia akan bersekutu dengan China. Dengan demikian, cara itu diyakini dapat menghentikan rencana pembangunan itu.
"Langkah terakhir adalah Indonesia mendekati Prancis yang menentang keras rencana AS Inggris dan Australia tersebut," lanjutnya.
Indonesia dapat mendorong agar Prancis membawa isu ini dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Posisi Indonesia mengenai potensi kegaduhan AUKUS-China juga disoroti oleh Aleksius. Ia menilai, RI akan merapat ke Beijing meski tak ditunjukkan secara gamblang.
"Tampaknya seperti itu (merapat ke China) meskipun Indonesia tidak mengatakannya secara eksplisit," tutur Aleksius.
Indonesia, sejauh ini, memang menganut politik bebas aktif. Hanya saja, hemat Hikmahanto, RI tak leluasa bersikap tegas terhadap negara-negara besar seperti kepada China, AS, Inggris, atau Australia.
"Ada keengganan yang bisa dimaklumi tapi pemerintah harus tetap mandiri dalam bersikap agar martabat dan kredibilitas politik luar negeri tetap terjaga," kata Aleksius.
Kredibilitas politik luar negeri RI semakin dipengaruhi oleh pragmatisme pemerintah untuk segera pulih dari krisis selama pandemik Covid-19.
"Misalnya, Indonesia tidak ingin mengorbankan kerja sama ekonomi yang mendalam dan pada titik point of no return dengan Tiongkok (China)."
Dengan demikian, AS akan menganggap Indonesia semakin dekat dengan China atau tak mau bersikap tegas dengan China.
Tak hanya RI, menurut Aleksius, hampir seluruh negara ASEAN bersikap seperti itu karena kerja sama di bidang ekonomi dengan China yang menggiurkan.
"Janji ekonomi dari China begitu menggoda dan akan kehilangan momentum jika dibiarkan," kata Aleksius.
Meski demikian, Indonesia tetap harus menjaga garis batas netralitas sebagai negara dengan geopolitik amat strategis di Indo-Pasifik.
RI pun harus berhati-hati sambil menegaskan posisi netralnya dan menyerukan semua pihak menahan diri.
(bac)