Menilik sejarah, Taiwan dan China pernah terlibat perang saudara dari 1927 hingga 1949. Saat itu, Partai Komunis China berusaha menguasai pemerintah China yang dipimpin Kuomintang.
Menyadari hal tersebut Partai Kuomintang yang notabene nasionalis berusaha menyingkirkan kaum komunis.
Namun, China terus memandang Taiwan sebagai bagian wilayahnya yang tak terpisahkan, meskipun mereka tidak pernah memerintah pulau tersebut.Kubu Kuomintang pun kalah dan melarikan diri ke Pulau Formosa atau Taiwan kemudian membentuk pemerintahan sendiri pada 1949.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Status quo baru muncul 30 tahun lalu, saat Beijing dan Nasionalis Taiwan mengakui sikap Satu China, sebagaimana dalam Konsensus 1992. Sejak saat itu, sikap tersebut ditafsirkan secara berbeda oleh kedua belah pihak.
Presiden Taiwan dan partainya sudah lama menolak konsensus itu. Sebaliknya, dia berulang kali mendesak Beijing untuk mengakui kedaulatan Taiwan dan keinginan rakyatnya.
Di sisi lain, upaya China menguasai Taiwan tak pernah surut. Pada 2019, Presiden China Xi Jinping meminta pulau itu bersatu kembali secara damai dengan negaranya.
Namun, ia menolak mengesampingkan penggunaan kekuatan. Ancaman aksi militer, terutama yang berkaitan dengan kegiatan yang dianggap "separatis" tetap menjadi ancaman bagi Taiwan.
Taiwan tidak bisa menerima penyatuan dengan China. Salah satu pemicu utamanya karena peristiwa di Hong Kong yang menunjukkan bahwa menjaga kedaulatan Taiwan sangat penting guna melindungi posisinya sebagai satu-satunya negara demokrasi berbahasa China di dunia.
Juni lalu, Menlu Taiwan menganggap penerapan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong, digunakan untuk membungkam gerakan pro-demokrasi kota itu.
Undang-undang itu mengkriminalisasi apa saja yang dinilai sebagai tindakan subversi, pemisahan diri dan kolusi dengan kekuatan asing.
Selain itu, UU tersebut digunakan untuk mengikis kebebasan pers dan memenjarakan aktivis pro-demokrasi dan lawan-lawan pemerintah.
Selain mengirim pesawat tempur di sekitar wilayah udara, Taiwan juga menuduh China menggunakan perang hibrida untuk merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi di pulau itu.
"(China) menggunakan perang kognitif, kampanye disinformasi dan intimidasi militer untuk menciptakan banyak kecemasan di antara orang-orang Taiwan," kata Wu, seperti dikutip CNN.
Wu menyebut Beijing kerap menyebar berita palsu tentang Taiwan, bahkan pernah menuduh negara ini memalsukan angka kematian akibat Covid-19.
Meski Taiwan nyaris setiap hari digempur China, mereka tak akan tunduk pada tekanan. Pemerintah juga akan berhati-hati walaupun sudah mengantongi dukungan dari komunitas internasional.
(bac/isa/bac)