Menurut Yon ada ketakutan yang berlebihan di kalangan masyarakat Indonesia sehingga rencana penamaan Jalan Ataturk di Jakarta menjadi perdebatan.
"Kalau Ataturk sebagai simbol negara, kita tidak boleh melakukan intervensi sebagai suatu negara. Jika itu menjadi nama jalan sebagai simbol hubungan kedua negara harus dihargai," kata Yon.
Ahli Kajian Islam Timur Tengah itu mengungkapkan tidak ada kaitannya antara nama jalan dengan upaya negara lain yang menimbulkan ancaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sah-sah saja, harusnya disikapi dengan wajar," ujar Yon menanggapi rencana penamaan Jalan Ataturk.
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, M. Sya'roni Rofii, mengatakan sebagian masyarakat Indonesia mungkin takut akan sekularisme lantaran khawatir dan trauma.
Sya'roni menilai sekelompok warga Indonesia mungkin khawatir dengan penamaan Jalan Ataturk, Turki dapat 'menanamkan' pengaruh sekularsime terhadap Indonesia yang lebih konservatif.
Menurutnya, Indonesia termasuk masyarakat religius. Agama menjadi tak terpisahkan di ruang publik.
"Konsep negara Pancasila kan mengakomodasi agama. Ketika disodorkan dengan model sekulerisme Turki era Attaturk boleh jadi membuat mereka khawatir dan trauma," kata Sya'roni yang juga penulis buku 'Islam di Langit Turki'.
"Tapi kan faktanya Turki hari ini sudah berubah. Turki lebih fokus pada isu ekonomi dan pembangunan dengan Indonesia," jelas Sya'roni.
Sya'roni mengatakan Turki dulu memang dikenal sebagai negara sekuler yang asertif. Namun, sejak dipimpin Presiden Tayyip Erdogan, Turki terus bertransformasi menjadi negara sekular namun tetap dekat dengan nilai-nilai Islami.
"Sehingga terlalu berlebihan mengaitkan pemberian nama jalan dengan sekularisme," ucap Sya'roni.
Catatan Redaksi: Judul berita ini diubah pada Selasa (19/10) pukul 09.30 WIB.
(rds/bac)