Jakarta, CNN Indonesia --
Publik Indonesia digemparkan dengan wacana pemerintah mengganti nama salah satu jalan di DKI Jakarta dengan nama bapak bangsa Turki, Mustafa Kemal Ataturk.
Duta Besar RI untuk Turki, Lalu Muhammad Iqbal, mengatakan pihaknya sudah meminta komitmen dari pemerintah DKI Jakarta untuk melaksanakan permintaan itu.
Kabar ini juga dibenarkan oleh Wakil Gubernur Jakarta, Ahmad Riza Patria. Riza menyampaikan wacana penggunaan jalan ini merupakan bentuk kerja sama antara Indonesia dengan Turki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Riza belum bisa memastikan lokasi ruas jalan yang akan diganti namanya dengan tokoh sekuler Turki ini. Namun, Kabarnya salah satu ruas jalan di kawasan Menteng, Jakarta, akan diganti nama dengan Ataturk.
Meski belum resmi, wacana tersebut sudah menimbulkan perdebatan, terutama di antara kalangan muslim di Indonesia.
Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas hingga Ketua DWP PKS DKI Jakarta, Khoirudin, menolak keras rencana tersebut.
Anwar menganggap Ataturk sebagai tokoh yang mengacak-acak ajaran Islam. Ia menilai banyak hal yang sudah dilakukan Ataturk bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam Al-Qur'an dan sunah.
Sementara itu, pihak Nahdlatul Ulama (NU) menganggap reaksi protes tersebut berlebihan dan seharusnya dilihat dalam perspektif lebih luas lagi, yakni sebagai tanda jalinan persahabatan antara Indonesia dan Turki.
 Mustafa Kemal Ataturk merupakan pendiri Turki sekaligus presiden pertama negara tersebut. (AFP/STR/FRANCE PRESSE VOIR) |
Alasan Ataturk Jadi Nama Jalan di Jakarta
Iqbal menuturkan penamaan jalan di Jakarta dengan Ataturk sebenarnya dilakukan sebagai balasan karena Turki telah menjadikan nama preisden pertama Indonesia, Sukarno sebagai nama salah satu ruas jalan di depan KBRI Ankara.
"Sebagai simbol kedekatan kedua Bangsa yang sudah dimulai sejak abad ke-15, Pemerintah Turki setuju memenuhi permintaan Indonesia untuk memberikan nama jalan di depan KBRI Ankara dengan nama Bapak Proklamasi kita, Ahmet Sukarno (nama yang dikenal di Turki)," kata Iqbal pada Minggu (17/10).
Turki melalui kedutaan besarnya di Jakarta juga membeberkan alasan ingin menamakan salah satu jalan di DKI Jakarta dengan nama Ataturk.
Menurut perwakilan Kedubes Turki di Jakarta, Kedutaan Besar RI di Ankara sebelumnya telah mengusulkan mengubah nama jalan di depan gedungnya dari semula bernama Jalan Holland menjadi Jalan Sukarno.
"Dan permintaan itu telah diterima oleh otoritas Turki sebagai basis prinsip resiprokal (imbal balik) dengan mengubah nama salah satu jalan di dekat Kedubes Turki di Jakarta dengan Jalan Ataturk," kata Kedubes Turki saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com melalui surat elektronik pada Senin (18/10).
"Proses pemilihan jalan di Jakarta sampai saat ini masih dikonsultasikan dengan otoritas Indonesia terkait," papar kedutaan Turki menambahkan.
Peresmian jalan itu kemungkinan akan dilakukan saat Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengunjungi Indonesia.
Erdogan disebut akan melawat ke Jakarta pada awal 2022. Namun rencana itu masih dalam tahap pembahasan.
Masyarakat Indonesia dinilai tak utuh memahami siapa Ataturk, baca di halaman berikutnya...
Profesor Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menganggap sentimen terhadap Ataturk di Indonesia tinggi lantaran presiden pertama Turki tersebut erat kaitannya dengan sekularisme.
Setelah Ottoman Turki runtuh medio 1922, Ataturk mendeklarasikan pendirian negara Republik Turki dan menjabat sebagai presiden.
Sejak itu, Ataturk melakukan reformasi progresif besar-besaran demi memodernisasi Turki menjadi negara industri dan sekuler.
Salah satu upaya Ataturk memodernisasi Turki dari budaya Ottoman yang bernapaskan Islam adalah memperkenalkan ideologi populisme dan sekularisme, penghapusan kekhalifahan Ottoman, penghapusan pengadilan agama, perubahan penulisan nasional dari alfabet Arab menjadi huruf latin, hingga penerapan sistem kalender Masehi atau Gregorian.
Sejak itu, sejarah menulis langkah progresif dan modern Ataturk dalam mereformasi Turki dari Ottoman menjadi negara sekuler yang tak lagi kental nilai Islam.
Kebijakan itu, kata Yon, membuat banyak orang, termasuk sejumlah Muslim di Indonesia, menganggap Bapak Bangsa Turki itu sebagai salah satu orang yang melakukan pemaksaan penghilangan agama di negara tersebut.
"Informasi-informasi soal Ataturk yang masuk ke Indonesia itu kemudian dilihat sebagai sosok yang seperti merepresi kelompok agama," ujar Yon saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (18/10.
Menurut Yon, informasi yang beredar di kalangan masyarakat Indonesia mengenai Ataturk tak komprehensif. Ataturk hanya direpresentasikan sebagai tokoh yang membuat kebijakan sekuler di Turki tanpa melihat peran dan kontribusinya terhadap pembentukan negara Turki seperti saat ini.
"Ada sebagian segmen sejarah yang tertangkap tidak utuh. Jadi orang Indonesia lebih banyak melihat Attaturk itu di akhir-akhir, ketika melihat Turki mulai ada kebijakan sekularisasi yang lebih radikal," ucap Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG Universitas Indonesia itu.
Yon menuturkan informasi-informasi yang tidak utuh tersebut menjadi pemantik kebencian sebagian Muslim di Indonesia terhadap Attaturk. Yon menuturkan sentimen orang Indonesia terhadap Ataturk bahkan melebihi penduduk Turki sendiri.
"Kalau saya lihat, orang Indonesia sebagian itu lebih benci terhadap Ataturk dibandingkan orang Turki itu sendiri," katanya menambahkan.
Misinformasi yang kadung menyebar di publik Indonesia soal Ataturk ini, kata Yon, erat kaitannya dengan perebutan wacana antara kelompok pro-sekuler dan konservatif Turki.
Yon mengatakan polarisasi itu cukup kuat lantaran Ataturk dianggap sebagai representasi kelompok sekuler.
"Maka kemudian (Ataturk) dimusuhi dan dibenci (sebagian kalangan)," ucap Yon.
Yon mengatakan kebencian terhadap pemimpin pertama Turki itu bahkan memunculkan mitos-mitos terhadap Ataturk, salah satunya rumor soal makamnya yang bau.
Padahal, Yon mengatakan sekularisme tak semenakutkan itu. Menurutnya, sekularisme pasif ala Turki bisa sejalan dengan moderasi agama. Sekularisme pasif di Turki, ucap Yon, diartikan sebagai negara memposisikan secara adil agama-agama yang ada.
Yon memaparkan sekularisme pasif dimanfaatkan oleh pemerintahan Turki saat ini untuk menghormati kepercayaan maupun keyakinan beragama di negara tersebut.
Di awal kepemimpinan, Yon mengatakan Ataturk menerapkan paham sekuler pasif.
Hal ini bukan berarti agama harus absen di ruang publik, katanya, tetapi negara menjaga netralitas terhadap agama dan memberi kesempatan yang sama kepada agama-agama yang ada untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik.
"Jadi negara tidak memusuhi simbol-simbol agama seperti yang dipraktikkan dalam sekularisme yang bersifat asertif," terang Yon.
Di awal kepemimpinannya, Ataturk bahkan disebut sebagai pahlawan perang, yang mampu mempertahankan Ottoman Turki dari serangan Inggris, Prancis, dan Rusia yang merupakan sekutu dalam Perang Dunia I.
Sebagian besar penduduk Turki, kata Yon, juga menganggap Ataturk sebagai pahlawan kemerdekaan.
Namun, Yon mengatakan Ataturk perlahan mencoba menerapkan paham sekuler asertif di era pemerintahannya hingga publik mulai antipati terhadap dirinya.
Beberapa kebijakan kontroversial selama Ataturk memimpin antara lain larangan memakai sorban ala Ottoman, pembubaran sekolah-sekolah Islam, hingga larangan penggunaan bahasa Arab dan diganti dengan bahasa Turki.
"Nasionalisasi yang radikal itulah yang menyebabkan sebagian rakyat Turki sendiri tak menyukai figur Attaturk," kata Yon.
Sekularisme yang bersifat asertif, agresif, imbuh Yon, biasa ditakuti karena dapat merepresi kelompok agama.
"Ya yang asertif di akhir era Ataturk yang banyak mengakibatkan konflik dengan kelompok agama," katanya.
Terlepas dari kontroversinya, Ataturk tetap dianggap pahlawan Bapak Bangsa Turki baik oleh kelompok sekuler maupun kelompok Islamis di negaranya.
Masyarakat Indonesia dinilai lebay soal Ataturk, baca di halaman berikutnya...
Menurut Yon ada ketakutan yang berlebihan di kalangan masyarakat Indonesia sehingga rencana penamaan Jalan Ataturk di Jakarta menjadi perdebatan.
"Kalau Ataturk sebagai simbol negara, kita tidak boleh melakukan intervensi sebagai suatu negara. Jika itu menjadi nama jalan sebagai simbol hubungan kedua negara harus dihargai," kata Yon.
Ahli Kajian Islam Timur Tengah itu mengungkapkan tidak ada kaitannya antara nama jalan dengan upaya negara lain yang menimbulkan ancaman.
"Sah-sah saja, harusnya disikapi dengan wajar," ujar Yon menanggapi rencana penamaan Jalan Ataturk.
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, M. Sya'roni Rofii, mengatakan sebagian masyarakat Indonesia mungkin takut akan sekularisme lantaran khawatir dan trauma.
Sya'roni menilai sekelompok warga Indonesia mungkin khawatir dengan penamaan Jalan Ataturk, Turki dapat 'menanamkan' pengaruh sekularsime terhadap Indonesia yang lebih konservatif.
Menurutnya, Indonesia termasuk masyarakat religius. Agama menjadi tak terpisahkan di ruang publik.
"Konsep negara Pancasila kan mengakomodasi agama. Ketika disodorkan dengan model sekulerisme Turki era Attaturk boleh jadi membuat mereka khawatir dan trauma," kata Sya'roni yang juga penulis buku 'Islam di Langit Turki'.
"Tapi kan faktanya Turki hari ini sudah berubah. Turki lebih fokus pada isu ekonomi dan pembangunan dengan Indonesia," jelas Sya'roni.
Sya'roni mengatakan Turki dulu memang dikenal sebagai negara sekuler yang asertif. Namun, sejak dipimpin Presiden Tayyip Erdogan, Turki terus bertransformasi menjadi negara sekular namun tetap dekat dengan nilai-nilai Islami.
"Sehingga terlalu berlebihan mengaitkan pemberian nama jalan dengan sekularisme," ucap Sya'roni.
[Gambas:Photo CNN]
Catatan Redaksi: Judul berita ini diubah pada Selasa (19/10) pukul 09.30 WIB.