Putri Mako, bukanlah yang pertama angkat kaki. Bibinya, Sayako, satu-satunya putri Kaisar Akihito, lebih dulu melakukannya. Ia menikah dengan arsitek tata kota, Yoshiki Kuroda pada 2005.
Wacana perubahan konstitusi kekaisaran itu sudah berlangsung sejak tahun 2014-2015, kata Ilma. Namun, hingga sekarang masih belum ada keputusan apapun.
Lihat Juga : |
Senada dengan Ilma, dosen Pendidikan Bahasa Jepang, Poppy Rahayu mengungkapkan kekaisaran Jepang lekat akan tradisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kayaknya Jepang konsisten dengan tradisi dan kearifan lokalnya. Jadi mungkin tidak (mengubah UU Kekaisaran)," terangnya.
Sebelum modernisasi Jepang, kata Ilma, Kekaisaran di Negeri Sakura itu pernah dipimpin oleh Kaisar Perempuan di abad ke 6 atau 7.
"Zaman dulu ada 7 kaisar wanita termasuk Empress (kaisar) Suiko," terang Ilma.
Ketujuh kaisar itu diantaranya Kaisar Suiko (592-628), Kaisar Kōgyoku (642-645), Kaisar Jitō (690-697), Kaisar Genmei ( 707-715), Kaisar Genshō ( 715-724), Kaisar Kōken (749-758), Kaisar Meishō (1629-43), Kaisar Go-Sakuramachi ( 1762-70).
Kemudian di abad ke 17, saat Tokugawa Ieyasu menjadi jenderal yang memiliki kekuasaan penuh untuk mempersatukan Jepang, muncul paham konfusianisme sebagai dasar pemikiran masyarakat saat itu.
Konfusianisme merupakan ajaran yang fokus untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia.
"Dan mulailah nilai-nilai konfusianisme yang sangat mengutamakan kekuatan pria menjadi populer," lanjutnya.
Tradisi tersebut yang tertinggal di Jepang hingga sekarang. Selain itu, paham konfusianisme juga secara tak langsung mempengaruhi UU Kekaisaran atau Restorasi Meiji.
"Tak ditinggalkan langsung, tapi ada pengaruhnya," kata Ilma, saat ditanya apakah peninggalan Tokugawa salah satunya UU tersebut.
(isa/bac)