Secara materil Kara memang rugi, tapi perempuan itu juga mempertanyakan penerima beasiswa yang tampak diprioritaskan untuk lebih dulu tiba di Jepang. Perempuan itu bukan salah satu penerima beasiswa.
"Aku merasa enggak adil sih, yang dapat beasiswa dari pemerintah sudah masuk (ke Jepang) padahal yang biayai pemerintah, tapi kita yang bayar sendiri enggak dibolehkan," keluh dia.
Mahasiswa lain yang kini sudah di Jepang, Tyo (nama samaran) juga tak menampik bahwa memang pemerintah di sana memprioritaskan penerima beasiswa negara itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kebetulan saya juga penerima beasiswa, ada undangan khususnya karena memang dari Kedutaan Jepang, jadi seperti ada jaminan khusus, jadi datang dalam batch besar," kata Tyo.
Menurut pengamatan Tyo, ada tiga kategori terkait izin masuk pelajar asing ke Jepang. Kategori pertama seperti prioritas yang memperoleh dukungan dari kedutaan.
Adapun yang kedua penerima beasiswa dari lembaga non pemerintah atau swasta. Lalu, ketiga dengan dana pribadi.
"Nah saat itu, saya dapat beasiswa yang prioritas kedua," terang Tyo.
Tyo merupakan salah satu mahasiswa pasca sarjana Universitas Kyoto, yang mengambil program internasional.
Saat masih di Indonesia pun, Tyo mengalami susahnya kuliah jarak jauh. Belum lagi jika ada tugas kelompok ia harus menyamakan waktu dengan mahasiswa dari negara lain.
"Paling kerasa itu ketika ada program diskusi, ketika ada tugas kelompok dengan (mahasiswa) Eropa-Amerika, mereka di sana pagi, kita siang, kerasa banget bedanya," kata Tyo lagi.
Finansial juga menjadi masalah yang tak bisa dihindari. Beberapa penerima mahasiswa Jepang, juga merasa kesulitan menjalani sistem ini. Sebab, sejumlah lembaga beasiswa hanya bisa mencairkan dana saat mereka sudah tiba di Jepang.
"Jadi enggak cuma proses pembelajaran (yang bermasalah), tapi juga finansial. Banyak sekali pelajar Indonesia yang didukung beasiswa," ucap Tyo.
Pun dengan mahasiswa yang akan melakukan riset ke Indonesia. Mereka, lanjut Tyo, terjebak di Jepang karena pemerintah menutup gerbang internasional. Sementara itu tenggat waktu riset dan tagihan biaya kuliah terus berjalan.
Jepang mendeteksi kasus varian Omicron perdana pada Selasa (29/12) lalu. Kasus itu ditemukan pada pria Namibia setelah menjalani tes dan dinyatakan positif Covid-19 setibanya di bandara Narita pada Minggu (28/12).
Meski kasus Covid-19 di negara itu kini sudah melandai dibanding saat Olimpiade Tokyo berlangsung, mereka tetap khawatir akan penyebaran varian Omicron meluas sehingga menutup perbatasan bagi warga asing.
Sejauh ini total kasus Covid-19 Jepang mencapai 1.73 juta kasus, sementara yang meninggal 18.357 jiwa.
(isa/bac)