Belum lama ini, para pengungsi Afghanistan di beberapa wilayah menggelar aksi protes menuntut kejelasan penempatan mereka di negara ketiga.
Protes terbaru terjadi di Jakarta, Rabu (19/1). Aksi ini sekaligus merespons dugaan tindak kekerasan yang dilakukan aparat di Pekanbaru.
Di Pekanbaru demo berlangsung pada Senin (17/1). Aksi ini dipicu insiden salah satu pengungsi yang bunuh diri lantaran tak kunjung ditempatkan di negara ketiga. Dia memiliki istri dan lima anak yang masih kecil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketidakjelasan nasib untuk ditempatkan di negara ketiga juga dirasakan salah satu pengungsi perempuan Afghanistan, Zahro.
Perempuan itu sudah tiga tahun hidup di Indonesia. Ia memiliki dua anak perempuan. Zahro tinggal di sebuah tenda berbahan terpal biru di depan gedung Charismatic Worship Service (CWS) Office, Tebet, Jakarta Selatan. Tinggi tenda itu sekitar pinggang orang dewasa.
"Tiap malam anak-anak suka nangis, kegerahan, kepanasan di sini. Kan berlubang di terpal, alas juga begini," kata Zahro saat ditemui CNNIndonesia.com di tenda itu, Minggu (12/12).
Anak-anaknya tertawa riang di dalam tenda. Mereka berlarian dari ujung ke ujung tenda, sesekali melongok ke luar. Namun, tak lama kemudian ia menangis lantaran kegerahan.
Jauh sebelum berada di Tebet, ia menceritakan bagaimana dirinya tiba di Indonesia.
Pada 2018 lalu, Zahro beserta anak pertamanya yang masih kecil keluar dari Afghanistan menggunakan pesawat. Mereka transit di India lalu ke Malaysia kemudian ke Indonesia.
Anak kedua Zahro lahir pada 2019. Gadis kecilnya itu lahir di salah satu rumah sakit di Kalideres, dan dibantu Komisi Tinggi PBB urusan Pengungsi (UNHCR).
Ia mengaku lembaga tersebut juga memberi bantuan hanya tiga bulan pertama.
Selebihnya, ia mesti berjuang sendiri menghidupi kedua anaknya. Zahro hanya mengandalkan bantuan dari warga Indonesia untuk memenuhi popok dan susu untuk bayi.
Sebelum bermalam di jalanan Tebet, Zahro sempat tinggal di tenda yang didirikan di dekat UNHCR selama empat bulan. Langkah ini sebagai bentuk protes akan nasib mereka yang terkatung-katung.
![]() |
Peperangan di Afghanistan menyebabkan 2,6 juta penduduk melarikan diri lantaran saban hari dihinggapi rasa tak aman. Dari angka itu, termasuk Zahro.
Hingga kini total pengungsi di Indonesia mencapai 13.459. Dari jumlah tersebut, 7.460 diantaranya berasal dari Afghanistan.
Per April 2021, pengungsi di Indonesia, sebanyak 57 persen berasal dari Afghanistan, 10 persen dari Somalia, dan 5 persen dari Irak.
Krisis politik dan kemanusiaan yang terjadi di Kabul membuat Zahro tak ingin kembali ke negara asal.
"Tidak. Saya tidak mau ke sana. Setiap hari ada perang. Di sana tidak aman. Taliban bukan orang baik," ujarnya.
Pada pertengahan Agustus 2020 lalu, Taliban berhasil merangsek ke istana presiden di Kabul. Tak lama kemudian banyak penduduk asing maupun lokal yang ingin melarikan diri. Beberapa dari mereka tak mau hidup di bawah kendali kelompok itu karena takut, cemas bahkan ada yang nyawanya terancam.
Negara Barat pun sibuk mengevakuasi warga dan menarik pasukan dari Afghanistan.
Negara di Timur Tengah itu dilanda perang sejak lama. Mulai dari saat Uni Soviet menginvasi Afghanistan, disusul Rusia, kemudian Amerika Serikat yang mengklaim ingin memerangi terorisme imbas insiden 11 September (11/9).
Senada dengan Zahro, dua perempuan yang tinggal di tenda itu juga mengungkapkan keengganannya menginjakkan kaki lagi di Afghanistan.
"Tidak mau, di sana ada perang. Saya mau ke negara ketiga," kata Sukhuriyah.
"Kalau negara kami sudah aman, tidak ada perang kami akan kesana. Tapi setiap hari di sana ada perang," tutur Gulbhat.
Saat kami kembali ke Tebet pada Minggu (19/12), kami tak melihat ada tenda lagi. Menurut penuturan warga setempat, mereka sudah dipindahkan ke Kalideres sejak Kamis (16/12).
Zahro tak punya nomor telepon yang bisa dihubungi, sementara Sukhriyah tak merespons saat kami bertanya keberadaan dirinya.
Pada Minggu (26/12), kami mengunjungi eks Gedung Kodim yang difungsikan sebagai tempat tinggal para pengungsi di Kalideres, Jakarta Barat.
Terlihat beberapa laki-laki tengah asik berbincang di depan pelataran gedung itu. Beberapa orang duduk, yang lain tampak berdiri. Ada satu orang yang memerhatikan kami saat pertama menginjakkan kaki di area tersebut.
Usai memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan, kami bertemu salah satu pengungsi yang sejak 2016 tinggal di Indonesia, Hassan.
Untuk selanjutnya dia berperan sebagai penerjemah wawancara kami dengan satu keluarga Afghanistan yang tinggal di gedung eks Kodim, Kalideres.
Menurut penuturan Hassan, di lokasi tersebut tak ada pengungsi bernama Zahro dan Sukhriyah yang ketika itu, tinggal di area gedung. Untuk memastikan lebih lanjut, kami perlihatkan foto mereka, namun jawabannya masih sama.
Hassan memperkenalkan kepada salah satu keluarga yang sudah tiga tahun berada di Indonesia, Mohammad Thohir dan Hanifah beserta ke lima anaknya.
Mereka tinggal di salah satu ruangan di gedung eks Kodim itu. Hanifah harus berbagi ruang dengan para pengungsi lain. Tempat untuk tidur hanya dipisahkan oleh triplek. Di dinding-dindingnya terdapat kosa kata dalam bahasa Inggris dan Afghanistan.
Kata-kata yang menempel di dinding itu sebagai bahan ajar untuk anak-anak Afghanistan. Di ruangan itu pula ada tenda kecil yang digunakan sebagai 'pelindung' tidur pengungsi lain.
Selama tinggal di Indonesia, Hanifah dan keluarga tak pernah menerima bantuan finansial dari UNHCR. Bantuan datang dari komunitas Muslim, Kristen atau yang lain. Ia hanya menerima bantuan paket sembako pada 2020 lalu, saat bantuan sosial Covid-19 di negara ini dijalankan.
"Mungkin setelah dua bulan, tiga bulan atau empat bulan kita menerima bantuan, kita menerima sampai 2020, sebelum itu tak ada lagi," kata Thohir, suami Hanifah.
Sedari awal, kami sudah meminta izin untuk mewawancarai pihak istri, namun saat kami melempar pertanyaan, Thohir yang merespons. Hanifah, yang duduk di samping sang suami nampak sibuk memainkan jari-jari, sembari menundukkan kepala.
Kehidupan mereka di Jakarta terbilang terjal, mulanya mereka tinggal di jalanan. Orang-orang kemudian menampung dan membantunya.
Anak ke lima Hanifah lahir di Indonesia pada 2020 lalu. Ketika itu, ia dibantu warga yang telah menampungnya. Zahra, nama anak itu, pertama memekikkan suara tangisnya di Puskesmas.
"Setelah bayi lahir ada seseorang yang selama enam bulan membiayai kebutuhan ibu dan anak," tutur Thohir mewakili Hanifah.
Dalam proses penantian penempatan di negara ketiga yang entah kapan, anak Hanifah pernah sakit dan hanya dibawa ke Puskesmas.
"Karena tak cukup makanan baik (yang bergizi), makanya mereka sakit, terus ke Puskesmas," kata suami Hanifah.
Selama hamil, menurutnya tak ada bantuan dari UNHCR. Situasi terasa sangat pelik bagi mereka, lantaran pengungsi di Indonesia tak diizinkan bekerja.
Indonesia bukan negara yang meratifikasi konvensi Pengungsi 1951 tentang Status Pengungsi serta belum memiliki sistem penentuan status pengungsi.
Padahal menurut aturan Perpres No.125 tahun 2016, pengungsi yang berkebutuhan khusus, salah satunya perempuan hamil, ditempatkan di tempat darurat.
Lihat Juga :![]() KILAS INTERNASIONAL China Usir Kapal Perang AS hingga KBRI Siap Bantu soal Rohana |
Saat di Afghanistan, Thohir berprofesi sebagai pekerja bangunan, atau apa saja yang bisa membuat dapur tetap mengeluarkan aroma masakan, tanpa larangan meski sehari-hari yang dilihat hanya perang.
Sementara itu, Hanifah adalah seorang ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.
"Di sini tidak diizinkan untuk bekerja, tapi di Afghanistan tidak ada ketenangan saat bekerja," kata dia.
Thohir lalu menegaskan,"Itulah kenapa kondisi ekonomi di sini (di Indonesia) buruk ketimbang di Afganistan."
Jangankan untuk mempersiapkan masa depan anak-anaknya, sekadar mendapat kepastian tinggal di negara ketiga pun tak mereka dapatkan.
"Terkait anak-anak kami yang sudah terlanjur di sini, kami tak punya apa-apa. Mereka seharusnya sekolah, tapi mereka tidak bisa pergi ke sekolah," kata Thohir lagi.
Ia menuturkan kondisi pendidikan untuk anak-anaknya di Indonesia berbeda dengan di Afghanistan. Di negara yang kini dipimpin Taliban perempuan dilarang bersekolah, namun anak anak laki-laki masih bisa duduk di kelas.