Kronologi, Alasan Putin, dan Situasi Terkini Rusia Gempur Ukraina

CNN Indonesia
Senin, 07 Mar 2022 15:31 WIB
Gedung-gedung di Kyiv Ukraina dibombardir pasukan Rusia. (via REUTERS/@AYBURLACHENKO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Rusia membuktikan ancamannya ketika sang Presiden Vladimir Putin mengumumkan 'operasi militer khusus' pada 24 Februari 2022 lalu. Tak berselang lama jelang pernyataan Putin, ledakan demi ledakan terdengar di beberapa kota besar Ukraina seperti Odessa, Mariupol, Kharkiv, hingga Kyiv.

Dua negara bertetangga itu sedianya adalah 'sahabat' ketika masih bernaung di dalam bendera Uni Soviet. Selama perang dingin mereka pun bersatu menghadapi rongrongan negeri barat.

Namun pada 1991, bubarnya Uni Soviet membuat rakyat Ukraina melakukan referendum dan memutuskan pisah dari Rusia sebagai 'saudara tua'-nya, lalu menjadi negara merdeka.

Meski Presiden Rusia Boris Yeltsin saat itu merestui kemerdekaan Ukraina, ia membentuk Commonwealt of Independent (CIS) bersama Belarusia.

Namun lambat laun, Ukraina menuding CIS adalah bentuk lain dari perpanjangan tangan Rusia untuk ikut campur urusan negara-negara pecahan Uni Soviet.

Ketegangan itu berakhir pada Mei 1997 ketika Rusia dan Ukraina duduk bersama untuk menandatangani perjanjian persahabatan. Rusia resmi memegang sebagian besar kapal-kapal di Laut Hitam, namun harus membayar sewa karena memakai pelabuhan Sevastopol.

Awal-mula Ketegangan

Situasi kedua negara sempat akur selama lebih dari satu dekade. Namun pada 2014, muncul serangkaian unjuk rasa untuk menuntut Rusia tidak ikut campur dalam persoalan di Ukraina.

Pasalnya, kedekatan presiden Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych dengan Rusia dianggap dapat 'mengembalikan' Ukraina sebagai bagian dari Uni Soviet puluhan tahun lalu.

Buntutnya, massa yang kontra terhadap pemerintah Ukraina melengserkan Yanukovych. Momen ini disebut sebagai Revolusi Ukraina. Di saat yang sama, dua kubu pro dan kontra pemerintah dikabarkan masih terlibat bentrokan kala itu.

Ketika pemerintahan Ukraina sedang kosong, Putin sempat bermanuver merebut Krimea pada 2014. Selain itu, pemerintah Rusia juga mendukung kelompok separatis di Ukraina Timur, tepatnya di kota Donetsk dan Luhansk.

Tak berselang lama, kepemimpinan presiden baru Petro Poroshenko menghasilkan perjanjian damai Minsk pada 2015 untuk mengakhiri kekerasan. Proshenko juga yang memulai pendekatan dengan Uni Eropa dan Nato.

Akan tetapi, itulah yang membuat Putin meradang. Mantan agen intelijen KGB itu berpendapat bahwa kedekatan Ukraina dengan Uni Eropa dan NATO berpotensi ancaman bagi Rusia. Sebab, ada kemungkinan pangkalan militer NATO dibangun di dekat perbatasan Rusia-Ukraina.

Desas-desus invasi Rusia pun berhembus pada November 2021 ketika Ukraina dipimpin oleh Volodymyr Zelenskyy yang meneruskan lobi-lobi dengan Uni Eropa.

Citra satelit menunjukkan konsentrasi pasukan militer Rusia berada di dekat perbatasan Ukraina. Jumlahnya diperkirakan mencapai 100.000 tentara lengkap dengan alutsista mereka.

Latihan militer skala besar juga dilakukan Rusia pada Januari 2022. Hal ini membuat Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengancam Rusia akan mendapat sanksi ekonomi jika tidak menurunkan ketegangan di perbatasan.

Putin menepis anggapan bakal melakukan invasi. Di sisi lain, ia meminta NATO menyetop aktivitas di Eropa Timur sekaligus meminta agar negara-negara pecahan Uni Soviet tidak diterima sebagai anggota.

Dalam sebuah essay panjang yang ditulis Putin pada Juli 2021 lalu, seperti dikutip CNN International, Putin menyebut Rusia dan Ukraina adalah 'satu bangsa' sekaligus menuding Barat telah mengacak-acak identitas Ukraina. Ia pun mengakui kedaulatan Republik Donetsk dan Luhansk sebagai negara yang merdeka dari Ukraina.

"Barat sudah merusak Ukraina dan menariknya keluar dari orbit Rusia melalui perubahan identitas yang dipaksakan," ujar Putin.

Lanjut baca di halaman berikutnya...

Invasi Dimulai


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :