Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah negara Arab seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) masih belum buka suara terkait invasi Rusia ke Ukraina. Menurut pengamat hal ini karena mereka sadar peran Rusia di bidang keamanan kawasan saat berhadapan dengan Israel.
Menurut pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, negara-negara Arab diam saja tak mendukung atau melawan Rusia karena memahami peran keamanan Moskow di negara itu.
"Mereka sadar akan peranan aktif Rusia dalam membangun sistem pertahanan negara-negara Arab, termasuk saat mereka langsung berhadapan dengan Israel," kata Rezasyah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (16/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedekatan antara negara Arab dengan Rusia secara psikologis bisa mengurangi ketergantungan persenjataan yang selama ini dipasok Amerika Serikat, lanjutnya.
Alat utama sistem pertahanan atau Alutsista dan teknologi militer yang dijanjikan Rusia, terutama di sektor pesawat tempur dan peluru kendali juga sebanding dengan produk Washington.
"Kerja sama pertahanan keamanan dengan Rusia dapat dipastikan berjalan dengan baik karena Rusia tidak pernah mempertanyakan tingkat demokratisasi yang berlangsung, termasuk melakukan embargo atas komponen militer yang telah dijanjikan," kata Rezasyah saat ditanya wujud keamanan yang disediakan Rusia ke negara-negara Arab itu.
Senada, dengan Rezasyah, pengamat dari Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabilla, menyatakan negara Arab ingin menjaga hubungan dengan Rusia karena Moskow punya peran di kawasan.
"(Negara-negara Arab) dengan Rusia menjaga hubungan, karena ada peran Rusia di kawasan untuk menstabilkan geopolitik, disamping itu juga secara ekonomi ada hubungan (kerja sama)," kata Fahmi.
Menurutnya operasi militer Rusia cukup di Suriah, jangan meluas ke Timur Tengah.
AS-NATO dinilai mulai rapuh dan masih Pro-Israel, baca di halaman berikutnya...
Selain itu, membisunya sikap negara Arab karena mereka melihat kepemimpinan Amerika Serikat, NATO dan Uni Eropa yang rapuh.
"Ternyata mereka tidak solid dan menjadikan Ukraina sebagai proxy war mereka atas Rusia," papar Rezasyah.
Adapun alasan negara-negara Arab tak berada di pihak Ukraina, menurut Rezasyah, karena mereka menilai pemerintahan Kyiv sangat pro-Israel dan tak peka dengan masalah-masalah keamanan di kawasan Eurasia.
Negara-negara Arab seperti UEA kini memang sudah menjalin normalisasi dengan Israel. Begitu pula Saudi yang berencana ke arah perbaikan hubungan diplomatik. Meski demikian, mereka tetap punya sikap jelas untuk mendukung kemerdekaan Palestina bebas dari tekanan Israel.
Telanjur Banyak Proyek dengan Rusia
Sementara itu, menurut Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta dan anggota Masyarakat Indonesia Peminat Kajian Timur Tengah (ISMES), Achmad Ubaedillah, negara Arab masih membisu soal invasi di Ukraina karena menjaga hubungan dengan Rusia.
"Mereka enggak enak dengan Rusia. Banyak proyek negara-negara Arab Saudi dan Uni Emirat Arab dengan Rusia," kata Ubaedillah saat dihubungi CNNIndonesia.com. Rabu (16/3).
Menurutnya, secara historis hubungan Saudi dengan Rusia terbilang cukup lama. Mereka saling tenggang rasa.
"Apalagi sekarang, saat hubungan Saudi-AS enggak begitu mesra, seperti era Trump," lanjut Ubaedillah.
Hubungan AS-Saudi yang Merenggang
Ia menilai hubungan AS dan Saudi merenggang karena Riyadh kecewa pemerintahan Biden kerap mengungkit masalah yang menyangkut hak asasi manusia.
Salah satunya, pembunuhan jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi pada 2018 lalu. Pembunuhan terhadap jurnalis ini disebut melibatkan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MbS).
Kerenggangan Riyadh-Washington semakin terasa saat Presiden Amerika Serikat menelepon MbS pekan lalu, namun tak ada jawaban. Ia juga menghubungi pemimpin UEA, Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan, hasilnya sama, nihil respons.
Biden saat itu berharap obrolan bisa panjang mengenai produksi minyak dari dua negara ini, menyusul kekhawatiran lonjakan harga minyak bagi warga AS imbas sanksi yang dijatuhkan ke Rusia.
Sikap pemimpin Saudi dan UEA yang tak mengangkat telepon Biden disebut karena mereka tak mau pandangan sekecil apa pun dijadikan amunisi Amerika Serikat untuk memojokkan Rusia, demikian menurut Rezasyah.
Kesempatan di balik harga minyak dunia yang naik, baca di halaman berikutnya...
Sikap 'penolakan' Saudi bukan kali pertama. Pada awal Februari lalu, pejabat Saudi juga menolak seruan untuk memompa lebih banyak minyak.
Menurut laporan The Guardian, mereka mengatakan akan tetap berpegang pada perjanjian produksi yang sudah disepakati Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang salah satu anggotanya adalah Rusia.
Pelarangan impor minyak dari Rusia membuat harga minyak mencapai US$130 atau sekitar Rp1,8 juta per barel.
Secara ekonomi, lanjut Ubaedillah, perang Rusia-Ukraina berdampak pada lonjakan harga minyak. Hal ini, menguntungkan negara-negara produsen minyak seperti Saudi.
Meski demikian, negara-negara Arab, katanya tak akan mengecam atau menyudutkan Rusia dalam waktu dekat menyoal krisis di Ukraina.
"(Sebab) secara internal tidak menguntungkan bagi kerja sama yang tengah berjalan antara Rusia dan Saudi, UEA. Akan makin berdampak buruk tentunya jika Rusia makin disudutkan oleh negara-negara Timur Tengah," jelas dia.
Meski begitu, lanjut dia, Saudi telah menawarkan perdamaian kepada Rusia-Ukraina, tanpa melibatkan Amerika Serikat.
Ukraina berada dalam gempuran Rusia usai mereka memutuskan invasi pada 24 Februari lalu.
Pasukan Moskow tak segan menggempur rumah sakit bersalin, apartemen dan fasilitas sipil lain. Padahal di awal invasi, Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim hanya menargetkan instalasi militer. Namun hingga kini mereka terus menyerang area-area sipil bahkan saat warga evakuasi.
Komunitas internasional pun geram akan sikap Moskow, mereka ramai-ramai menjatuhkan sanksi ekonomi. Rusia lalu membalas dengan mengeluarkan daftar hitam pejabat hingga tokoh AS. Mereka dilarang berkunjung ke Negeri Beruang Merah itu.
Upaya untuk mengakhiri invasi juga sudah dilakukan dengan negosiasi. Namun, memasuki putaran keempat belum ada hasil yang signifikan.
Rusia baru bersedia mengakhiri invasi jika Ukraina tak bergabung dengan Aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Ukraina menjadi negara netral, dan Crimea diakui sebagai bagian wilayah Moskow.
Pertempuran yang terus terjadi menyebabkan banyak korban berjatuhan. Menurut PBB korban tewas sejak invasi mencapai 636 orang dan 1.125 terluka, sementara menurut pemerintah Ukraina korban meninggal sebanyak 2.000 jiwa.