Jika Macron dan Le Pen mencapai putaran kedua, analis memperkirakan persaingan keduanya akan jauh lebih ketat dan rumit daripada ketika pemilu 2017. Saat itu, Macron menang 66 persen suara dari Le Pen.
"Ada ketidakpastian menjelang putaran pertama," kata ilmuwan politik Prancis Pascal Perrineau.
Salah satu alasannya, kata Perineau adalah sampai saat ini banyak pemilih yang masih ragu-ragu atau yang berubah pikiran selama kampanye. Belum lagi para pemilih yang tidak memberikan suara di hari pemungutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Analis khawatir jumlah pemilih yang tak akan ikut serta dalam pemilu akan melonjak. Pada pemilu 2017, jumlah ketidakhadiran pemilih mencapai 22,2 persen.
Sementara itu, total ada 48,7 juta pemilih terdaftar di seluruh Prancis dalam pemilu kali ini.
Taruhan pemilu kali ini tinggi bagi Macron.
Jika menang lagi, Macron tak hanya menjadi presiden Prancis termuda yang pernah menjabat, tapi juga menjadi yang pertama sejak Jacques Chirac memenangkan masa jabatan kedua pada 2002.
Jika dia menang, dia akan memiliki mandat lima tahun untuk memaksakan visi reformasinya mencakup pengurangan usia pensiun, yang bertentangan dengan kemarahan serikat pekerja.
Dia juga akan berusaha untuk mengkonsolidasikan posisinya sebagai orang nomor satu yang tak terbantahkan di Eropa setelah kepergian kanselir Jerman Angela Merkel.
Namun, kemenangan Le Pen akan dilihat sebagai kemenangan bagi populisme sayap kanan dan mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh Eropa dan pasar.
Bagi para pendukungnya di Eropa, Macron adalah benteng tengah melawan populisme, terutama setelah kemenangan pemilihan akhir pekan lalu oleh perdana menteri sayap kanan Hungaria Viktor Orban dan pemimpin Serbia Aleksandar Vucic, yang keduanya memiliki hubungan baik dengan Putin.
(rds)