Kasus Covid Menggila tapi Data Rendah, Apa yang Terjadi di Korut?

CNN Indonesia
Kamis, 07 Jul 2022 11:04 WIB
Kasus Covid-19 disebut menggila, namun tak tercermin dalam data yang dilaporkan pemerintah Kim Jong Un.
Kim Jong Un makamkan pemimpin militer Korut di tengah lonjakan Covid-19. (via REUTERS/KCNA)

Mulanya ketakutan terbesar akan Covid-19 karena masyarakat tak divaksin dan kurang gizi. Kini publik bertanya soal skala wabah di negara itu.

Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di Korea Utara, Tomas Ojea Quintana, mengatakan mengetahui skala wabah tidak mungkin saat ini. Meskipun ia telah mendengar laporan yang belum dikonfirmasi soal kematian orang tua dan anak-anak yang kurang gizi.

"Setidaknya dalam posisi saya, saya tidak bisa membandingkan ketakutan yang kita miliki pada awal tahun 2020 tentang konsekuensi bencana Covid di (Korea Utara) dan situasinya saat ini."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada juga kekhawatiran bahwa varian baru, yang mungkin lebih ganas, dapat muncul dari penularan yang tak terkendali melalui populasi Korea Utara yang berjumlah sekitar 25 juta orang.

Seorang ahli bedah saraf Amerika Kee B. Park, yang telah mengunjungi Korea Utara saat Covid-19, mengatakan negara itu tampaknya tidak mau berbagi informasi.

"[Sikap itu] tidak baik bagi mereka (dan) itu tidak baik untuk seluruh dunia. Kita harus berbagi informasi soal segala jenis perubahan baru pada karakteristik virus, misalnya mutasi," kata dia.

Menurut Park, perlu menyadari fakta bahwa replikasi yang tinggi bisa menghasilkan varian baru. Satu-satunya cara mendeteksi yakni dengan berbagi informasi satu sama lain.

Juni lalu, Korut mengatakan sedang mengalami wabah penyakit usus tak dikenal di Provinsi Hwanghae Selatan, sekitar 120 kilometer dari Pyongyang.

Pengumuman itu, paling tidak, menunjukkan kerentanan Korut terhadap wabah penyakit dan kekurangan obat-obatan.

Park meyakini Korut mungkin sedang menghadapi wabah demam tifoid atau kolera.

"Di suatu tempat seperti Korea Utara, Anda bisa menduga tingkat penyakit menular yang tinggi. Faktanya, untuk anak-anak di bawah usia 5 tahun, penyakit diare adalah pembunuh nomor satu."

Secercah harapan

Salah satu harapan bagi Park yakni kemampuan Korut memvaksinasi masyarakat dengan cepat. Penilaian ini berkaca selama program inokulasi nasional wabah campak 2006 lalu.

"Siklus pertama, rata-rata mereka disuntik satu juta sehari, kemudian pada siklus kedua, kemudian pada 2007, mereka rata-rata lebih dari 3 juta suntikan sehari," ucap Park.

Jika semua kondisi itu benar, berdasarkan angka-angka, mereka bisa memvaksinasi seluruh populasi setidaknya untuk suntikan pertama dalam delapan hari.

Namun optimisme itu agaknya menguap diredam karena sikap diam suatu negara yang menolak bantuan dari luar.

"Mereka berjuang untuk memasok rumah sakit dengan beberapa hal yang kita anggap remeh," kata Park.

Misalnya ahli bedah akan menggunakan kembali peralatan seperti pisau bedah sampai alat itu tumpul dan tak bisa digunakan.

Tawaran bantuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat, Korea Selatan, dan lainnya semuanya diabaikan.

Beberapa bantuan yang masuk ke Korut tercatat dari China, sekutu dekatnya. Data bea cukai menunjukkan dari Januari hingga April, Korea Utara mengimpor lebih dari 10 juta masker, 1.000 ventilator, dan lebih dari 2.000 kilogram vaksin yang tidak ditentukan.

Aliansi vaksin global, Gavi, mengatakan pihaknya memahami Korut telah menerima vaksin Covid dari China dan mulai memvaksinasi.

"[Korut] masih belum mengajukan permintaan resmi kepada COVAX untuk dukungan vaksin tetapi kami tetap siap membantu jika mereka melakukannya," kata sala satu Jubir Gavi.

Warga Korut tak begitu khawatir soal Covid-19, mereka lebih cemas akan kekurangan makanan.

"Mereka memberi tahu saya situasi makanan lebih buruk daripada selama the Hardouous pada 1990-an. Saya sangat khawatir mengetahui betapa sulitnya (saat itu)," kata salah satu pembelot yang sudah tinggal di Korsel.

The Harduous March mengacu pada periode kelaparan yang menghancurkan. Di sisi lain ekonomi Korea Utara lumpuh usai mendapat pukulan telak karena Uni Soviet bubar. Secara otomatis bantuan ke negara itu pun berakhir.

Bahaya kelaparan sangat nyata dan serius di Korea Utara. Beberapa pihak mendesak agar Kim turun tangan.

Televisi yang dikelola pemerintah telah menayangkan liputan soal Korut yang mengunjungi apotek, mengerahkan militer distribusi obat. dan bahkan menyumbangkan beberapa persediaan medis pribadinya untuk memerangi wabah yang belum teridentifikasi.

Bagi Choi gambaran seperti itu tak lebih dari pertunjukan semata.

"Pihak berwenang Korea Utara tidak berusaha, warga Korut adalah orang-orang yang mengalami kesulitan jika Anda bertahan itu hebat, tetapi tidak ada yang bisa kami lakukan jika Anda mati".

(isa/bac)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER