Jakarta, CNN Indonesia --
Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, menjadi sorotan usai didesak mengundurkan diri. Ia menolak angkat kaki dari kursi kekuasaan meski desakan lengser kian kencang hingga lima menteri kabinetnya memutuskan mundur.
Undur diri ramai-ramai itu muncul setelah Johnson dan pemerintahannya didera rentetan skandal. Pemimpin Partai Konservatif itu bahkan nyaris tak lolos dari mosi tidak percaya yang dilangsungkan parlemen pada Juni lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebanyak 10 menteri yang mengundurkan diri di antaranya Menteri Keuangan Rishi Sunak, Menteri Kesehatan Sajid Javid, Menteri Urusan Anak dan Keluarga Will Quince, Menteri Muda Transportasi Laura Trott dan Menteri Sekolah, Robin Walker.
Sebagian besar menterinya itu memutuskan mundur lantaran menganggap pemerintahan yang dipimpin Johnson sudah tak dapat dipercaya.
Jauh sebelum berkarir di politik, Johnson pernah menjadi wartawan Inggris setelah mencoba menjajal sebagai konsultan manajer. Ia mengawali kariernya di The Times pada 1987. Tak lama, ia dipecat karena ketahuan mengarang kutipan.
Kemudian pada 1989 hingga 1994, ia pindah ke The Daily Telegraph sebagai koresponden yang meliput komunitas Eropa.
Di awal 1990-an, Johnson menjadi kolumnis politik untuk The Spectator. Lalu di pada 1999, ia menjadi editor majalah dan melanjutkan pekerjaannya hingga 2005.
Berlanjut ke halaman beriktunya >>>
[Gambas:Video CNN]
Rekam Jejak Politik
Setelah berkarya sebagai kolumnis politik yang diperhitungkan, Johnson mencoba memperluas karinya dengan berpolitik praktis. Ia mencoba mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Inggris atau MP. Partai Konservatif memilih Johnson sebagai kandidat parlemen untuk Clwyd South pada 1997. Namun, ia kalah telak dari partai Buruh Martyn Jones.
Kemunculan Johnson di kontestasi politik melambungkan namanya meski kalah. Ia kerap muncul di berbagai acara televisi, bahkan ia sempat memiliki program khusus yakni bincang-bincang Have I Got News For You di BBC.
Ucapannya yang blak-blakan dan sikap dia yang kikuk membuat program itu menjadi tontonan favorit.
Ketenaran di layar kaya tak menghentikan langkah Johnson di gelanggang politik. Ia kembali mencalonkan diri sebagai anggota parlemen pada 2001. Kali ini, ia menang di daerah pemilihan Henley on Thames.
Namun popularitas Johnson tak terus berada di atas angin. Ia sempat terancam dalam beberapa kesempatan. Misalnya, saat kota Liverpool menuntut permintaan maaf dia usai membuat editorial yang tak sensitif di The spectator.
Pada 2004, ia juga diberhentikan sebagai menteri seni usai muncul rumor perselingkuhan antara Johnson dan seorang jurnalis. Lagi-lagi, skandal ini tak banyak berpengaruh ke karir politiknya.
Pada 2005, dikutip situs pemerintah Inggris, Johnson kembali berhasil mengamankan kursi di parlemen.
Dua tahun setelahnya, London tengah memasuki pemilihan wali kota. Johnson turut mengikuti pemilu ini dan berjanji akan mundur jika terpilih sebagai wali kota. Pada Mei 2008, ia menang tipis atas Partai Buruh yang dipimpin Gordon Brown.
Di pemilihan wali kota selanjutnya pada 2012, Johnson juga kembali terpilih mengalahkan Livingstone. Kemenangan dia menjadi salah satu titik terang Partai Konservatif yang sempat kehilangan pendukung.
Sembari mengejar karir politik, Johnson sejumlah buku dan menghasilkan sejumlah judul. Mulai dari Lend Me Your Ears (2003), kumpulan esai; Tujuh Puluh Dua Perawan (2004), dan The Dream of Rome (2006), sebuah survei sejarah Kekaisaran Romawi, demikian dikutip Britannica.
Johnson kembali ke Parlemen pada 2015, memenangkan kursi London barat Uxbridge dan South Ruislip.
Beberapa kritikus menuduh bahwa ambisi politik pribadi Johnson membuatnya kurang memperhatikan pekerjaan sebagai wali kota.
Di masa genting Inggris, Johson menjadi juru bicara jelang pemilihan referendum nasional soal apakah negara ini akan tetap menjadi anggota Uni Eropa atau tidak. Ia berhadapan dengan Perdana Menteri saat itu, David Cameron.
Hasil referendum 52 persen menginginkan Inggris cabut dari UE. Kemenangan ini mendorong Cameron mengundurkan diri sebagai PM.
Partai tak langsung mencalonkan Johnson menjadi PM usai pengunduran diri itu. Pada 2016, ia menjadi menteri luar negeri Inggris, demikian menurut situs Gov UK.
Johnson sempat membela keputusan pemerintah yang ingin bergabung dengan Amerika Serikat dsn Prancis dalams erwngan udara di Suriah. Langkah ini menuai kritik karena mereka tak meminta persetujuan parlemen.
Lalu pada Juli 2019 ia menjadi perdana menteri. Selama menjadi PM Johnson juga dikaitkan dengan sejumlah skandal. Mulai dari pembatasan Covid-19 yang dianggap telat, dan pesta saat aturan pembatasan Covid-19.
Kini nasib dia sebagai perdana menteri di ujung tanduk. Namnama yang mungkin sebagai pengganti dirinya pun bermunculan. Mulai dari Sunak, Javid, Ben Wallace, hingga Liz Truss.
[Gambas:Photo CNN]