Jakarta, CNN Indonesia --
Sudah setahun Afghanistan berada di bawah cengkeraman Taliban. Organisasi itu berhasil mengkudeta pemerintahan Kabul yang didukung Amerika Serikat pada tahun lalu.
Sejak itu, Taliban terus berkuasa atas Afghanistan. Dalam kepemimpinannya saat ini, Taliban masih membatasi hak-hak perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diberitakan NPR, Taliban tak mengizinkan perempuan untuk ikut bersekolah SMP dan SMA. Taliban hanya membuka sekolah untuk laki-laki, sementara perempuan hanya boleh bersekolah sampai kelas enam SD.
Taliban mengizinkan perempuan untuk berkuliah, tetapi ruangannya dipisahkan dengan laki-laki.
Selain pembatasan terhadap perempuan, berbagai nestapa lain turut menimpa warga Afghanistan. Berikut beberapa di antaranya:
1. Rentetan Bom Bunuh Diri
Di bawah kepemimpinan Taliban, aksi bom bunuh diri masih sering terjadi di Afghanistan.
Sebagaimana diberitakan Reuters, seorang ulama terkemuka Taliban, Sheikh Rahimullah Haqqani, terbunuh dalam serangan bom di salah satu seminari di Kabul pada Kamis (11/8).
ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Tak hanya itu, sebanyak delapan orang tewas dalam pengeboman yang terjadi di kawasan syiah di Kabul pada awal Agustus lalu.
Sebanyak 18 orang terluka akibat insiden ini, dikutip dari ABC News.
[Gambas:Video CNN]
Anandolu Agency kemudian melaporkan ISIS mengklaim bertanggung jawab atas insiden tersebut.
2. Masih 'Hilangkan' Hak Perempuan dari Komunitas
Taliban membatasi sejumlah hak perempuan dalam kepemimpinan mereka saat ini.
Taliban membatasi perempuan untuk bekerja, meminta perempuan untuk berpakaian secara konservatif, pun menutup SMP dan SMA di negara itu.
Tak hanya itu, Taliban juga menutup Kementerian urusan Perempuan di Afghanistan, pun tak melibatkan perempuan dalam kabinet baru mereka, dikutip dari Reuters.
Perlakuan Taliban kepada perempuan menjadi salah satu alasan komunitas internasional belum mengakui pemerintahan organisasi tersebut.
Komunitas internasional juga masih memutus bantuan senilai miliaran dolar yang memperburuk ekonomi di Afghanistan.
Lanjut baca di halaman berikutnya...
3. Dilanda Krisis Ekonomi
Pakar ekonomi internasional dan Amerika Serikat mendesak Washington untuk memberikan kekayaan senilai US$7 miliar (Rp103 triliun) milik Afghanistan yang kini tersimpan di bank sentral AS.
Sebagaimana dilansir AFP, kekayaan tersebut dibekukan kala Taliban berkuasa atas negara itu setahun lalu.
"Kami sangat mengkhawatirkan penggabungan kehancuran ekonomi dan kemanusiaan yang terjadi di Afghanistan, dan khususnya, yang disebabkan oleh kebijakan AS," demikian pernyataan dari 71 pakar ekonomi dan pengembangan dalam sebuah surat ke Presiden Joe Biden dan Menteri Keuangan Janet Yellen.
"Sebanyak 70 persen rumah tangga Afghanistan tak dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka. Sekitar 22,8 juta orang, lebih dari setengah populasi, mengalami ketidakamanan pangan, dan tiga juta anak-anak mengalami risiko malnutrisi," lanjut pernyataan ini.
Situasi ini menjadi semakin buruk kala AS menolak mengembalikan cadangan devisa Afghanistan senilai US$7 miliar (Rp103 triliun), pun aset Afghanistan senilai US$2 miliar (Rp29 triliun) yang dibekukan Inggris, Jerman, dan Uni Emirat Arab, kata mereka.
4. Bencana Alam yang Tewaskan Ratusan Orang
Selain berhadapan dengan krisis ekonomi dan pengeboman, warga Afghanistan juga menjadi korban bencana alam.
Tolo News melaporkan setidaknya 400 orang tewas dalam banjir yang melanda sejumlah wilayah Afghanistan pada Juni.
Banjir tersebut melanda Provinsi Kunar, Nangarhar, Nuristan, Laghman, Panjshir, Parwan, Kabul, Kapisa, Maidan Wardak, Bamiyan, Ghazni, Logar, Samangan, Sar-e-Pul, Takhar, Paktia, Khost, Daikundi dan area Salang.
5. Bisnis Ilegal Opium dan Masalah Pecandu
Bisnis opium masih hidup dan berkembang di Afghanistan meski dilarang Taliban.
Sebagaimana diberitakan South China Morning Post, Taliban melarang budidaya opium mulai April 2022. Namun petani opium di sana terus menjual hasil panen mereka kepada penyelundup di pasar di Provinsi Helmand.
CNN melaporkan Afghanistan memproduksi sekitar 85 persen opium dunia pada 2020.