Direktur eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia di Iran, Hadi Ghaemi, mengatakan pusat pendidikan ulang itu didirikan pada 2019. Namun, pendirian ini dianggap tak punya dasar hukum apa pun.
"Agen dari pusat-pusat ini secara sewenang-wenang menahan perempuan, tak terhitung jumlahnya, dengan dalih tak mematuhi jilbab paksa negara," kata Ghaemi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, Ghaemi menerangkan perempuan itu diperlakukan seperti penjahat karena pelanggaran mereka.
"[Mereka] difoto dan dipaksa untuk mengikuti kelas tentang cara memakai jilbab yang benar dan moralitas Islam," imbuh dia.
Iran telah mendikte cara berpakaian perempuan jauh sebelum Republik Islam ini berdiri.
Pada 1936, pemimpin Iran saat itu yang pro-Barat, Reza Shah, melarang pemakaian cadar dan jilbab sebagai upaya memodernisasi negara. Banyak perempuan melawan.
Ia kemudian digulingkan. Pahlevi Syah lalu mengambil alih. Penguasa baru itu menerapkan wajib jilbab pada 1979. Namun, aturan itu baru disahkan sebagai undang-undang pada 1983.
Pemerintah kemudian membentuk gugus tugas untuk menegakkan peraturan yakni polisi moralitas. Tugas mereka untuk memastikan bahwa aturan dipatuhi.
Polisi Moralitas Iran di bawah komando Mohammad Rostami Chemtech Gachi semakin menunjukkan kekerasan dan kekuatan berlebihan.
Pada awal 2022, Rostami menyatakan pihaknya akan menghukum perempuan Iran yang menolak mengenakan jilbab, demikian dikutip Home Treasury.
Polisi moral berpatroli di jalan-jalan dengan mandat memasuki area publik untuk memeriksa penerapan hukum jilbab dan persyaratan Islam lain.
(isa/bac)