Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Rusia Vladimir Putin terus mengancam dapat menggunakan senjata nuklir dalam menghadapi setiap bentuk serangan dan provokasi dari Amerika Serikat dan sekutu terkait invasinya ke Ukraina.
Namun, apakah Putin benar-benar akan menggunakan senjata nuklirnya?
Menurut sejumlah pengamat, kemungkinan itu bergantung pada bagaimana Putin memandang ancaman terhadap Rusia dan pemerintahannya saat ini dan di masa depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putin menyebut perang di Ukraina sebagai pertempuran eksistensial antara Rusia vs Amerika Serikat Cs. Menurut klaimnya, Barat ingin menghancurkan Rusia dan menguasai sumber daya alamnya yang luas.
Putin juga berulang kali menegaskan ancaman penggunaan nuklir bukan gertakan saja. Dia mengatakan Rusia benar-benar siap untuk menggunakan senjata nuklir jika diperlukan.
Beberapa analis memang menganggap Putin hanya mencoba menggertak seperti keyakinan AS Cs selama ini.
[Gambas:Video CNN]
"Dia menggertak sekarang," kata Yuri Fyodorov, seorang analis militer yang berbasis di Praha seperti dikutip Reuters. "Tapi, apa yang akan terjadi dalam seminggu atau sebulan dari sekarang sulit untuk dikatakan, ketika dia menyadari kalah perang."
Namun, kali ini Washington justru menganggap serius ancaman nuklir Putin.
Sebab, dengan mengeklaim 18% Ukraina sebagai bagian dari Rusia, ruang ancaman nuklir meningkat karena Putin dapat menganggap serangan apapun ke wilayah pendudukannya itu sebagai bentuk serangan terhadap negaranya.
Ditanya apakah Putin akan menggunakan serangan nuklir, Direktur CIA William Burns mengatakan kepada CBS bahwa harus menanggapinya dengan serius.
"Kita harus menanggapi dengan sangat serius jenis ancamannya mengingat segala sesuatu yang dipertaruhkan," kata Burns.
"(Namun) intelijen AS tidak memiliki bukti praktis bahwa Putin bergerak menuju penggunaan senjata nuklir taktis dalam waktu dekat."
Senjata nuklir seperti apa yang mungkin dipakai Putin? Baca di halaman berikutnya >>>
Sejauh ini belum ada pejabat Rusia yang menyerukan serangan senjata nuklir strategis.
Namun, loyalis Putin sekaligus pemimpin Chechen, Ramzan Kadyrov, mengatakan Kremlin harus mempertimbangkan menggunakan senjata nuklir taktis rendah di Ukraina.
Kadyrov mengusulkan hal itu demi memperkecil kemunduran pasukan Rusia di Ukraina yang terus kehilangan wilayah pendudukannya di beberapa daerah.
Senjata nuklir taktis pada dasarnya adalah digunakan di medan perang untuk tujuan "taktis" dan jauh lebih lemah daripada bom besar yang diperlukan untuk menghancurkan kota-kota besar seperti Moskow, Washington atau London.
Senjata tersebut dapat dijatuhkan dari pesawat, ditembakkan pada rudal dari darat, kapal atau kapal selam, atau diledakkan oleh pasukan darat.
Meskipun Rusia memiliki pasukan nuklir khusus yang dilatih untuk berperang di medan perang apokaliptik seperti itu, tidak jelas bagaimana pasukannya yang terdiri dari pasukan reguler, tentara bayaran, tentara cadangan dan milisi lokal akan mengatasinya.
Hingga kini Rusia adalah kekuatan nuklir terbesar di dunia berdasarkan jumlah hulu ledak nuklir. Kremlin memiliki 5.977 hulu ledak sementara Amerika Serikat memiliki 5.428, menurut Federasi Ilmuwan Amerika.
Jumlah itu termasuk hulu ledak yang ditimbun dan pensiun, tetapi baik Moskow dan Washington memiliki daya tembak yang cukup untuk menghancurkan dunia berkali-kali.
Rusia memiliki 1.458 hulu ledak nuklir strategis yang dikerahkan atau siap ditembakkan dan AS memiliki 1.389 yang dikerahkan, menurut data terbaru yang diumumkan secara publik. Hulu ledak ini berada di rudal balistik antarbenua, rudal balistik di kapal selam dan pembom strategis.
Dalam hal senjata nuklir taktis, Rusia memiliki sekitar 10 kali lipat jumlah yang dimiliki AS. Sekitar setengah dari 200 senjata nuklir taktis AS dikerahkan di pangkalan-pangkalan di Eropa.
Senjata nuklir taktis AS memiliki hasil yang dapat disesuaikan dari 0,3 hingga 170 kiloton, di mana bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima setara dengan sekitar 15 kiloton dinamit.