Dunia Arab digemparkan dengan pemberontakan Arab Spring. Pemberontakan ini menantang rezim otoriter yang menguasai negara-negara kawasan, dikutip dari Britannica.
Namun, Arab Saudi khawatir Presiden AS, Barack Obama, dan Presiden Mesir, Hosni Mubarak, seolah abai atas peristiwa itu.
Arab Saudi mengeluhkan kebijakan AS terkait pendekatan kepada Iran dan Suriah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat itu, AS terlibat dalam perang sipil di Suriah. Mereka disebut ingin menggulingkan Presiden Bashar al Assad.
Negara-negara kuat dunia, termasuk AS, menjalin kesepakatan dengan Iran agar Teheran tak memproduksi senjata nuklir. Sebagai imbalan, negara Barat mencabut sanksi atas Iran.
Namun, Saudi khawatir kesepakatan ini malah membuat Iran semakin kuat.
Di saat bersamaan, Yaman tengah menghadapi pemberontakan dari Houthi, kelompok yang dekat dengan Iran. Saudi lantas membantu pemerintah Yaman melawan Houthi.
Pada 2018, mantan Presiden Donald Trump menarik Washington dari Perjanjian Nuklir Iran yang terjalin pada 2015.
Saudi menyambut langkah Trump tersebut.
Namun, di penghujung tahun ini, hubungan kedua negara tampak tegang. Pada November, AS mengecam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul.
Di tahun yang sama, AS menjadi produsen minyak terbesar di dunia.
AS merilis laporan yang menunjukkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MbS), terlibat dalam kasus pembunuhan Khashoggi.
Namun, Saudi membantah MbS terlibat di kasus ini.
Tak hanya soal Khashoggi, Washington turut menyampaikan keprihatinannya kepada para korban yang tewas imbas serangan udara di Yaman.
Washington juga berusaha keras memblokir penjualan senjata Riyadh.
Pada tahun ini, muncul tanda Arab Saudi bakal bergabung ke Kesepakatan Abraham. Dalam kesepakatan ini, Israel berupaya menormalisasi hubungan mereka dengan negara Teluk dengan bantuan AS.
Hubungan Israel dengan sejumlah negara Teluk tak baik imbas konflik negara itu dengan Palestina.
Hubungan AS dan Arab Saudi kembali diuji setelah OPEC+ memutuskan memangkas produksi minyak.
Keputusan ini diambil kala perang Rusia-Ukraina berlangsung, dan negara Barat tengah menerapkan sanksi ke Moskow.
Pihak AS menilai keputusan OPEC+ dapat meningkatkan harga minyak dan membuat Rusia dapat "membiayai" perang mereka, dikutip dari CNN.
(pwn/bac)