Pada Mei 2017, Presiden Trump dan Raja Salman meneken perjanjian pembelian senjata dari AS senilai total US$110 miliar secepatnya dan US$350 miliar dalam 10 tahun ke depan.
Pembelian senjata itu termasuk tank, kapal tempur, sistem rudal, radar, sampai teknologi keamanan siber.
MbS dinilai ingin memastikan pasokan senjata dari AS ini tetap aman ketika banyak aktivis, pejabat, dan politikus di AS menentangnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain karena invasi Saudi dalam perang sipil di Yaman dan pembunuhan Khashoggi, keputusan Saudi yang kompak ingin mengurangi produksi minyak bersama Rusia memicu tekanan terhadap Biden agar AS menyetop transfer senjata ke negara kerajaan itu.
Dikutip Armscontrol.org, meskipun pemerintahan Biden telah mengindikasikan sedang meninjau hubungan Saudi-AS, Gedung Putih tidak merinci perubahan spesifik apa pun terkait transfer senjata dengan Riyadh hingga akhir Oktober lalu.
Tuntutan terakhir yang disebut dilayangkan MbS kepada AS adalah meminta izin membangun program nuklir sipil terbatas.
Saudi memang pernah berencana membangun industri pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Pada 2013, Riyadh memiliki rencana membangun PLTN dengan kapasitas 17GWe namun program itu mangkrak dua tahun kemudian.
Dikutip WorldNuclear.org, saat ini Saudi tidak punya PLTN dan masih mengandalkan listrik dari pembangkit listrik tenaga gas dan minyak.
(rds/bac/bac)